Selasa, 22 Mei 2012

My Fist KTI

pertama kali melihat namaku ada dalam daftar itu..
rasanya aneh!
sesuatu yg menohok
apakah aku bisa dan sanggup?
di tengah himpitan gunung tugas, laporan dan deadline
suatu kesempatan itu terlihat sgt membebaniku
kulangkahkam kaki ingin mundur!
rasanya tak sanggup, tak mungkin aku melewatinya
1 ide pun tidak pernah trelintas di kepalaku
apa itu Karya Tulis Ilmiah??
apa?? apa??
formatnya kaya apa?
mau nulis apa??
bingung!
akhirnya kuputuskan berjuang sampai akhir dan hanya melakukan yg terbaik!
begitu banyak motivator diselilingku
terima kasih telah mau mendengar keluh kesahku dan menguatkanku

Perjuangan dimulai!
Perjalanan ke perpust Pusat, Perpust Jurusan, Searching dll
konsul beberapa kali beberapa dosen
hanya satu motivasiku saat itu
aku hanya ingin melakukan yg terbaik yg bisa kulakukan dan smp akhir!

waktu pengumpulan proposal tiba
diprint dan ditumpuk!
lega rasanya..

presentasi tingkat Jurusan dimulai!
panik panik bkin ppt blajar speaking
*huft mengingatnya adalah sesuatu bgt stlh sekian lama tidak ada perasaan spt itu
"Rita" well this is it
saatnya aku presentasikan apa yg kutulis! mencoba menjelaskan semua yg ada di kepalaku
well to long terlalu lama!

Lega!
menunggu pengumuman yg masuk tingkat fakultas
hanya bersantai
1 dalam pikiranku
kebawa y Puji TUHAN.. ga jg gpp toh sdh berjuang smp akhir
aku telah memenangkan egoku sendri ketika aku berpikir untuk mundur dan stay dalam zona nyamanku

sms masuk
wow ada nama Rita disana??
aku masuk in??
grogi!
perjuangan masih berlanjut

aku melakukan persiapan
namun aku rasakan kurang aku tidak belajar bhs inggris dgn sungguh2 :O
hari itu tiba
pagi hari di blater

presentasi berjalan lancar, meski bbrp hal sulit dijawab dan bingung
sesi bhs inggris sgt berantaka aku ditanya sesuatu yg sult ku jelaskan :D

meski tak ada hadiah, piagam yg kubawa pulang
aku membawa berbagai rasa, berbagai pembelajaran
Terima Kasih TUHAN aku diijinkan melalui satu kesempatan langka ini
inilah Karya Tulis Imiah ku
Potensi Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) sebagai bahan alami pengawet ikan


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Bapa Yang Maha Pengasih atas berkat dan kasih-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “Potensi Ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) sebagai Bahan Alami Pengawet Ikan”.
Daun salam telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai bumbu penyedap makanan. Penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan marak dilakukan nelayan untuk mencegah ikan busuk. Pencarian alternatif bahan alami pengawet ikan yang murah dan mudah didapat sangat diperlukan. Daun salam memiliki kandungan antibakteri seperti flavanoid, tannin, saponin, terpenoid, dan alkaloid, sehingga ekstrak daun salam berpotensi menjadi bahan alami pengawet ikan.
Demikian karya tulis ilmiah  yang penulis buat. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga bermanfaat.

Purwokerto,   April 2012

                                                                                                     Penulis


RINGKASAN
Karya Tulis Ilmiah ini berjudul “Potensi Ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) sebagai Bahan Alami Pengawet Ikan “. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan perspektif mengenai potensi pemanfaatan daun salam (Syzygium polyanthum Wight) sebagai bahan alami pengawet ikan. Penulis menggunakan metode literatur yang dilakukan dengan cara pencarian data, pengolahan data, dan penyusunan kerangka pemikiran. Ikan merupakan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, namun ikan memiliki kekurangan yaitu cepat membusuk. Pengawetan ikan sangat beragam mulai dari pendinginan, penggaraman, pemindangan, pengeringan dan fermentasi. Pengawetan dengan bahan berbahaya seperti formalin juga dilakukan dengan alasan harganya yang lebih murah. Penggunaan formalin dapat berbahaya bagi kesehatan manusia, sehingga dibutuhkan bahan pengawet yang berasal dari alam yang lebih aman dan murah. Beberapa bahan alami pengawet ikan yang sudah dibuktikan adalah citosan, asap cair, ekstrak daun teh, dan rempah-rempah. Dewasa ini, harga bahan alami tersebut juga relatif mahal sehingga dibutuhkan bahan alternatif lain. Daun salam merupakan salah satu bahan pelengkap masakan yang telah digunakan oleh masyarakat Indonesia. Kandungan kimia daun salam terdiri dari alkaloid, tannin, saponin, flavanoid, dan terpenoid, kandungan ini dapat berfungsi sebagai antibakteri, antimikroba dan antijamur. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ekstrak daun salam dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli, B. subtilis dan dapat mengurangi koloni bakteri Streptococcus sp., serta mempunyai aktivitas antifungi terhadap Candida albicans.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kandungan kimia daun salam maka dapat disimpulkan daun salam berpotensi sebagai bahan alami pengawet ikan yang murah, mudah didapatkan, juga diharapkan dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.


SUMMARY
Top of Form
The paper entitled "Potential Bay Leaf Extract (Syzygium polyanthum Wight) as Natural Ingredients for Fish Preservatives ". The aim of this paper to provide perspective on the potential use of bay leaves (Syzygium polyanthum Wight) as a natural fish preservative. The method was used literature observation of data retrieval, data processing, and preparation of the framework. Fish is a food that contains high protein, but the fish has disadvantage that quickly decompose. Preservation of fish is have many variations from cooling, salting, pemindangan, drying and fermentation. Preservation with hazardous materials such as formaldehyde are also done with reason that they were cheaper. The use of formalin can be harmful to human health, so we need to takes a preservative from natural that can saver and cheaper. Some natural preservative fish that has been proved is citosan, liquid smoke, tea leaf extract, and spices. Nowdays, the price of natural materials are also relatively expensive and so we need other alternatives. Bay leaves is one of the complement material of cooking that has been used by the people of Indonesia. Bay leaf has metabolite chemical constituents such as alkaloids, tannins, saponins, flavonoids, and terpenoids, this content can serve as an antibacterial, antimicrobial and antifungal. Several studies have reported that leaf extracts can inhibit the growth of the bacterium E. coli, B. subtilis and can reduce bacterial colony Streptococcus sp., as well as having antifungal activity against Candida albicans.
Based on research that has been done and the chemical content of  bay leaves, the conclusion is  potentially bay leaves exctract used as a natural fish preservative, which are cheaper, easily available, acceptable by Indonesian.




I.                   PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Ikan merupakan salah satu sumber zat gizi penting bagi proses kelangsungan hidup manusia (Junianto, 2003), hal ini dikarenakan ikan sebagai bahan makanan mengandung protein tinggi dan asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh. Selain itu, hasil perikanan dapat memberikan manfaat sebagai sumber energi, membantu pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh, memperkuat daya tahan tubuh, juga memperlancar proses fisiologi dalam tubuh (Adawyah, 2007).
Ikan laut memiliki kekurangan, yaitu lebih cepat membusuk dibandingkan daging unggas dan mamalia. Hal tersebut karena kandungan air yang tinggi (80%), pH tubuh ikan yang mendekati netral, dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh enzim autolysis menyebabkan daging sangat lunak sehingga menjadi media terbaik pertumbuhan bakteri pembusuk (Adawyah, 2007). Pembusukan ikan laut merupakan suatu kerugian bagi nelayan sehingga diperlukan suatu pengawetan yang dapat menjaga kualitas ikan.
Usaha pengawetan ikan yang dapat dilakukan cukup beragam mulai dari pengawetan ikan dengan suhu rendah atau pendinginan, penggaraman, pemindangan yang merupakan upaya pengawetan gabungan antara pemanasan dan penggaraman, pengeringan ikan dan fermentasi (Adawyah, 2007).  Pengawetan dengan bahan kimia berbahaya seperti formalin kerap dilakukan dengan alasan harga formalin yang relatif murah dibandingkan dengan bahan pengawet yang aman (Hastuti, 2010). Hasil penelitian Rahmawati (2006) dan Larasati (2006) dalam Zaelani dan Kartikaningsih (2008), memperlihatkan ikan segar dan ikan pindang yang beredar di kota Malang mengandung formalin. Formalin merupakan salah satu bahan tambahan makanan terlarang namun masih digunakan secara luas di masyarakat. Penggunaannya bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan (Zuraidah, 2007). Dampak formalin pada kesehatan manusia yang langsung terlihat yaitu iritasi, alergi, kemerahan, mata berair, rasa terbakar, sakit perut dan pusing, bahkan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kanker.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, diperlukan suatu bahan pengawet ikan yang berasal dari bahan alami. Bahan alami yang telah ditemukan diantaranya adalah citosan, asap cair, dan daun teh. Akan tetapi dewasa ini, bahan pengawet alami tersebut relatif mahal, sehingga perlu usaha untuk menemukan bahan pengawet alami yang lebih murah. Hasil beberapa penelitian menunjukan bahwa rempah dan daun-daun tanaman asli Indonesia mengandung senyawa aktif anti mikroba yang berpotensi untuk dijadikan sebagai pengawet alami.
Senyawa aktif  di dalam daun teh yang berguna sebagai pengawet ikan juga terdapat pada daun salam. Daun teh mengandung komponen penghambat pertumbuhan bakteri seperti flavanoid, alkanoid, triterpenoids (Mu’awan dan Prasetyo, 2010).  Sedangkan daun salam mengandung tannin, flavanoid, saponin, triterpenoids, polifenol, alkaloid, dan minyak atsiri (Utami, 2008). Tanaman salam (Syzygium polyanthum Wight) oleh masyarakat Indonesia biasa digunakan sebagai pelengkap bumbu dan obat. Sebagai pelengkap masakan, daun salam yang digunakan terlebih dahulu dikeringkan, secara tidak sadar masyarakat telah menggunakan ekstrak kandungan daun salam dalam masakannya. Dalam pengobatan, daun salam digunakan untuk pengobatan kolesterol tinggi, kencing manis, tekanan darah tinggi, sakit maag, dan diare (Utami, 2008). Berdasarkan pemikiran bahwa daun salam merupakan bahan alami yang telah lama digunakan sebagai bahan pelengkap masakan dan kandungannya yang sama dengan daun teh yang telah dijadikan bahan pengawet alami ikan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa daun salam berpotensi sebagai pengawet alami ikan.
1.2.       Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang menjadi fokus tulisan ini adalah dikarenakan pengawetan ikan dengan bahan alami yang ada relatif mahal maka dilakukan pengembangan alternatif pencarian bahan alami pengawet ikan yang lebih terjangkau menggunakan bahan daun salam (Syzygium polyanthum Wight) yang memiliki kandungan sama dengan pengawet alami yaitu daun teh.
1.3.       Tujuan
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan perspektif mengenai potensi pemanfaatan daun salam (Syzygium polyanthum Wight) sebagai bahan alami pengawet alami ikan.
1.4.       Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan karya tulis ilmiah ini ditujukan kepada lingkungan akademik secara khusus dan kepada masyarakat secara umumnya. Bagi lingkungan akademik tulisan ini dapat dijadikan dasar pertimbangan penelitian guna mencari manfaat lebih dari penggunaan daun salam. Bagi masyarakat umum, tulisan ini dapat menjadi informasi yang edukatif mengenai pengawetan ikan dengan bahan yang tidak membahayakan kesehatan.


II.                TELAAH PUSTAKA
2.1.       Tanaman Salam (Syzygium polyanthum Wight)
220px-Syzy_polyan_070404-3398_sbrg.jpgTanaman salam mempunyai berbagai nama daerah diantaranya meselangan (Sumatra), ubar seray (Melayu), salam (Jawa, Madura), dan gowok (Sunda) (Dalimarta, 2000 dalam Utami, 2008). Salam dapat tumbuh liar di hutan dan di pegunungan atau ditanam di pekarangan pada ketinggian yang relatif rendah hingga 1.800 m di atas permukaan laut, bahkan tanaman ini masih dapat ditemukan pada ketinggian 2.000 m di atas permukaan laut (Algyansyah, 2009). Berikut sistematika tanaman salam:
Divisi                 : Spermatophyta
Subdivisi            : Angiospermae
Kelas                  : Dicotyledoneae
Sub kelas           : Dialypetalae
Bangsa               : Myrtales
Marga                : Syzygium                            Gambar 1. Daun Salam
Jenis                   : Syzygium polyanthum Wight                       
(Van Steenis, 2003; Utami, 2008)
Tanaman salam termasuk pohon atau perdu dengan daun tunggal, bersilang berhadapan, pada cabang mendatar seakan-akan tersusun dalam 2 baris pada 1 bidang. Kebanyakan tanpa daun penumpu. Yang paling menarik, bakal buah tenggelam, mempunyai 1 tangkai putik, beruang 1 sampai banyak dengan 1-8 bakal biji dalam tiap ruang. Biji dengan sedikit atau tanpa endosperm, lembaga lurus, membengkok, atau melingkar (Van Steenis, 2003 dalam Utami, 2008).
Salam memiliki daun hijau yang rimbun. Daunnya terletak berhadapan, menyirip, berbentuk lonjong hingga elips dengan panjang 5-15 cm, lebar 3-8 cm, dan memiliki tangkai dengan panjang 0,5-1 cm. Salam dapat dikembangbiakan dengan stek batang, cangkok atau biji (Algyansyah, 2009).  Ekawati (2007) dalam Algiansyah (2009) melaporkan bahwa ekstrak etanol daun salam memiliki aktivitas antioksidan. Aktivitas tersebut berhubungan dengan senyawa aktif yang terkandung pada salam, diantaranya eugenol, tannin, flavanoid, saponin, fenolik, triterpenoid, dan alkaloid (Algyansyah, 2009). Salam mengandung tannin, flavanoid, saponin, triterpen, polifenol, alkaloid, dan minyak atsiri (Sudarsono dkk., 2002; Utami, 2008).
2.2.       Pembusukan Ikan
Seperti diketahui ikan merupakan bahan pangan yang mudah membusuk (rusak). Hanya dalam waktu 8 jam sejak ikan ditangkap dan didaratkan sudah akan timbul proses perubahan yang mengarah pada kerusakan (Adawyah, 2007). Proses perubahan pada ikan setelah ikan mati terjadi karena aktivitas enzim, mikroorganisme, dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan yang berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati meliputi:
1.    Perubahan prarigormortis
Perubahan prarigormortis merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri.
2.    Perubahan rigormortis
Perubahan rigormortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah berhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula penurunan jumlah adenosine trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigormortis. Pada fase rigormotis, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari pH mula-mula 6,9-7,2. Setelah fase berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Proses rigormotis dikehendaki selama mungkin karena proses ini menghambat proses penurunan mutu oleh aksi mikroba.     
3.    Proses perubahan karena aktivitas enzim
Setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif. Namun, sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungi lagi. Akibatnya, enzim dapat merusak organ tubuh ikan. Peristiwa ini disebut autolisis dan berlangsung setelah ikan melewati fase rigormortis. Ciri terjadinya perubahan secara autolisis adalah dengan dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir. Penguraian protein dan lemak dalam autolisis menyebabkan perubahan rasa, tekstur, dan penampkan ikan. Autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat rendah.
4.    Perubahan karena aktivitas mikroba
Selama ikan hidup, bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah, dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau menyerag bagian-bagian tubuh ikan. Hal ini disebabkan bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah (barrier) terhadap penyerangan bakteri. Setelah ikan mati, kemampuan barrier tadi hilang sehingga bakteri segera masuk ke dalam daging ikan melalui keempat bagian tersebut. Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan, yaitu lendir menjadi lebih pekat, bergetah, amis, mata terbenam, dan pudar sinarnya, serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan bau menusuk.
5.    Perubahan karena oksidasi
Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi lemak sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa serta warna daging ke arah cokelat kusam. Mencegah proes oksidasi adalah dengan mengusahakan sekecil mungkin terjadinya kontak antara ikan dengan udara bebas di sekilingnya. Caranya, dengan menggunakan ruang hampa udara, antioksidan, atau menghilangkan unsur-unsur penyebab proses oksidasi (Junianto, 2003).

2.3.       Pengawetan Ikan
2.3.1.      Pengawetan dengan Pendinginan
Kelebihan pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami perubahan tekstur, rasa, dan bau. Pendinginan ikan hingga 0°C dapat memperpanjang kesegaran ikan antara 12-18 hari sejak saat ikan ditangkap dan tergantung pada jenis ikan, cara penangangan, serta teknik pendinginannya. Proses pendinginan hanya mampu menghambat proses pertumbuhan mikroorganisme dan menghambat aktivitas mikroorganisme (Adawyah, 2007). Selama penyimpanan pada suhu rendah, bakteri Pseudomonas, Alteromonas, Miraxella, dan Acetobacter meningkat lebih cepat dibandingkan dengan organime lainnya.
2.3.2.      Pengawetan dengan Formalin
Larutan formalin mengandung formaldehid methanol sebagai stabilisator, dengan kadar formaldehid tidak kurang dari 34% dan tidak lebih dari 38%. Formalin merupakan cairan jernih tidak berwarna atau hampir berwarna, bau menusuk, uap merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan. Formalin larut dalam air atau etanol 95% (Ditjen POM, 1979). Formalin bukan merupakan zat pengawet untuk makanan tetapi disalahgunakan untuk pengawetan industri makanan. Beberapa penelitian terhadap tikus dan anjing bisa mengakibatkan kanker saluran cerna. Penelitian lainnya menyebutkan peningkatan resiko kanker faring (tenggorokan), sinus dan cavum nasal (hidung) pada pekerja tekstil akibat paparan formalin melalui hirupan (Yuliati, 2007).
Penyalahgunaan formalin sebagai pengawet ikan sudah seharusnya dihentikan. Makanan berformalin akan beracun hanya jika didalamnya mengandung sisa formaldehid bebas. Sisa formaldehid bebas hampir selalu ada dan sulit dikendalikan. Formaldehid dalam formalin akan berikatan dengan protein daging ikan membentuk jembatan metal yang menyebabkan struktur daging kaku dan tidak larut air. Perendaman dalam formaldehid menyebabkan sebagian besar protein sitoplasma sel terkoagulasi. Protein yang berikatan dengan formaldehid menyebabkan kualitas protein menurun dan bila dikonsumsi, ada sebagian kecil formaldehid bebas yang akan terikut dalam metabolisme tubuh (Zaelanie dan Karikaningsih, 2008).
2.3.3.      Pengawetan dengan Bahan Alami
Penggunaan bahan pengawet dan antioksidan sintetis pada saat ini tidak direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan, karena diduga menyebabkan penyakit kanker (carsinogenik agent) sehingga diperlukan bahan alami sebagai penggantinya. Asam sitrat dari jeruk nipis dan asam jawa sebagai bahan pengawet alami, sementara sebagai antioksidan adalah senyawa polifenol yang bersumber dari biji pinang dan gambir (Amos dkk., 1998; Barus, 2009). Penggunaan ekstrak tanaman dalam bentuk metabolit sekunder sebagai bahan pengawet alami ikan dapat dijadikan alternatif pengawetan ikan. 
Metabolit sekunder banyak dikandung oleh tumbuhan. Tumbuhan berpotensi menghasilkan metabolit sekunder yang berpotensi sebagai antioksidan, zat pewarna, penambah aroma makanan, parfum, insektisida dan obat. Ada 150.000 metabolit sekunder yang sudah diidentifikasi dan ada 4.000 metabolit sekunder “baru” per-tahunnya (Marliana, 2007). Metabolit sekunder dari beberapa tumbuhan dapat berfungsi untuk menghambat bakteri, fungi, dan juga virus (Wink, 1999).
Penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa rempah-rempah mempunyai sifat sebagai pengawet diantaranya bawang putih, kunyit, kluwak atau picung, cengkeh dan minyak atsiri (Widaningrum dan Winarti, 2010) serta lengkuas (Yuharmen dkk., 2002). Penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa penggunaan bahan alami terbukti lebih efektif dalam penanganan ikan segar, karena selain dapat memperpanjang masa simpan juga dapat mengurangi penggunaan jumlah es untuk mendapatkan mutu ikan yang tetap memenuhi standar. Bahan alami yang terbukti dapat digunakan sebagai pengawet alami ikan adalah  mahkota dewa, lidah buaya, jahe dan sosor bebek (Agustini dkk., 2008). Sifat antimikroba bumbu masak merupakan kerja sinergis dari berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteri, seperti pH, kadar air, serta kandungan fenol dan turunannya yang terkandung dalam rempah-rempah yang dipakai sebagai bumbu (Nurhidayati, 2007).
Mekanisme kerja senyawa yang bersifat antimikroba ada beberapa cara, yaitu:
1.        Merusak dinding sel mikroorganisme sehingga menyebabkan terjadinya lisis dengan cara menghambat pembentukkannya atau mengubah setelah selesai terbentuk;
2.        Mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel sehingga akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel;
3.        Menyebabkan terjadinya denaturasi protein dan asam-asam nukleat yang mengakibatkan kerusakan sel tanpa dapat diperbaiki lagi;
4.        Menghambat kerja enzim di dalam sel dan mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel;
5.        Menghambat sinteisis asam nukleat dan protein sehingga dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel (Hadioetomo, 1988 dalam Utami, 2008).



III.             METODE PENULISAN
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode literatur. Metode literatur dilakukan dengan cara pencarian data, pengolahan data, dan penyusunan kerangka pemikiran.
3.1.       Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan pengkajian bahan-bahan bacaan dalam buku, skripsi, jurnal, jurnal elektronik, dan  literatur-literatur lainnnya yang berkaitan dengan antioksidan, senyawa bioaktiv tumbuhan, ekstraki fenol dari tumbuhan, daun salam, pengawetan ikan, teknologi proses, dan pemanfaatannya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam memahami permasalahan yang diungkapkan dalam karya ilmiah ini.
3.2.       Pengolahan Data
Melalui bahan-bahan bacaan di atas, dilakukan pengkajian, penyeleksian, dan pencarian solusi atas masalah yang dihadapi, serta penarikan kesimpulan, sehingga kesimpulan akhir yang didapat relevan dengan masalah di lapangan dan benar-benar telah melalui penyusunan secara komprehensif berdasarkan data akurat  yang dianalisis secara runtut dan tajam.
3.3.       Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kedua hal diatas, maka kerangka pemikiran dikembangkan dengan menganalisis adanya masalah kesehatan dari pengawetan ikan menggunakan formalin, bahan pengawet alami yang relatif mahal, kemudian dilakukan kajian kandungan kimiawi dari daun salam sebagai pengawet alami. Selanjutnya, dilakukan pengkajian terhadap daun salam sebagai kajian kandungan kimiawi dari daun salam sebagai pengawet alami dan kelebihan penggunaan daun salam sebagai bahan alami pengawet ikan.


IV.             ANALISIS DAN SINTESIS
Daun salam mempunyai kandungan kimia yang  terdiri dari tannin, saponin, flavanoid, alkaloid, dan terpenoid (Hustani, 2009). Kandungan kimia dalam daun salam memiliki potensi sebagai antibakteri dan antifungi. Penelitan yang pernah dilakukan melaporkan bahwa ekstrak etanol daun salam dapat menghambat 50% pertumbuhan E.coli pada konsentrasi 343,0836 µ/ml dan dapat menghambat pertumbuhan B. subtilis pada konsentrasi 1.425,2794 µ/ml (Hustani, 2009). Widiyawati (2012) melaporkan senyawa flavanoid dan terpenoid yang terkandung dalam ekstrak etanol daun salam mempunyai aktivitas antifungi terhadap Candida albicans. Sumono dan Wulan (2009) melaporkan bahwa air rebusan daun salam dapat mengurangi jumlah koloni bakteri Streptoccus sp. Penelitian lainnya melaporkan bahwa ekstrak methanol daun salam dapat menghambat pertumbuhan vegetatif Fusarium oxysporum (Noveriza dan Miftakhurohmah, 2010).
Selain mengandung tannin, saponin, flavanoid, alkaloid, dan terpenoid, daun salam mengandung minyak atsiri. Minyak atsiri secara umum berfungsi sebagai antimikroba. Minyak atsiri daun alam terdiri dari fenol sederhana, asam fenolat, sekuisterfenoid, dan lakton. Mekanisme toksisitas fenol pada mikroorganisme meliputi inhibitor enzim oleh senyawa yang teroksidasi, kemungkinan melalui reaksi sulfhidril atau melalui interaks non spesifik dengan protein. Sedangkan mekanisme sekuisterfenoid yang terdapat dalam minyak atsiri dispekulasi terlibat dalam kerusakan membran sel kuman oleh senyawa lipofilik (Sudarsono dkk., 2002). Penelitian yang pernah dilakukan melaporkan bahwa minyak atsiri daun salam (Syzygium polyanthum) hasil penyulingan 5 jam mampu menghambat pertumbuhan E.coli sedangkan B.subtilis dapat dihambat oleh minyak atsiri daun salam pada penyulingan 3 jam (Nurhidayati, 2007).  
Potensi penggunaan daun salam sebagai bahan pengawet alami ikan merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Mu’awan dan Prasetyo (2010) yang melaporkan bahwa daun teh (Camellia synensis L) dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami ikan, karena memiliki kandungan flavanoid, alkanoid, triterpenoids. Kandungan kimia dalam daun teh yang digunakan sebagai bahan pengawet alami ikan juga terdapat pada daun salam, sehingga daun salam berpotensi menjadi bahan alami pengawet ikan. Berdasarkan penelitian Hustani (2009), identifikasi golongan senyawa dalam ekstrak etanol daun salam menunjukan adanya kandungan tannin, saponin, flavanoid, alkaloid, dan terpenoid.
Tabel 1. Hasil identifikasi golongan senyawa ektrak etanol daun salam (Hustani, 2009)
No.
Golongan Senyawa
Pereaksi
Hasil
1
Tannin
(+)
2
Saponin
Aquades
(+)
3
Flavanoid
Mg + HCl pekat
(+)
4
Alkaloid
Dragendorff
(+)
5
Terpenoid
Vanilin-asam fosfat
(+)

Tanin merupakan senyawa yang aktivitasnya dapat menyebabkan efek spasmolitik. Efek spasmolitik ini diduga dapat menghidrolisis dinding sel sehingga dinding sel mengecil atau mengganggu permeabilitas membran sel. Akibatnya sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat bahkan mati. Efek antibakteri tanin antara lain melalui: reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungi materi genetik (Masduki, 1996).
Saponin dapat menghambat pertumbuhan mikroba karena sifatnya yang seperti sabun dapat merusak permeabilitas membran sel mikroba (Robinson, 1995). Mekanisme penghambatan mikroba oleh saponin yaitu dengan bergabungnya gugus saponin yang bersifat polar dengan lapisan fosfolipid yang bersifat polar sehingga merusak permeabilitas membran. Kerusakan ini menyebabkan membran sel tidak dapat mengatur keluar masuknya bahan nutrisi yang dibutuhkan dalam proses metabolisme sel. Terganggunya proses metabolisme ini menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau bahkan mematikan mikroba (Lay, 1994).
Senyawa fenol dapat menghambat pertumbuhan bakteri melalui denaturasi protein struktural pada dinding sel maupun membran sel melalui putusnya ikatan disulfide dan ikatan ionik pada protein. Senyawa flavanoid merupakan salah satu deriverat (turunan) fenol, yang mempunyai gugus hidroksil fenol berkhasiat sebagai antibakteri (Hustani, 2009).
Alkaloid dapat mengganggu terbentuknya jembatan seberang silang komponen penyususn peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson, 1995).
Terpenoid mempunyai aktivitas antifungi dengan merusak membran sel (Cowan, 1999). Senyawa golongan terpenoid dapat berikatan dengan protein dan lipid yang terdapat pada membran sel dan bahkan dapat menimbulkan lisis pada sel.
Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ekstrak etanol dan minyak atsiri dari daun salam dapat digunakan sebagai antibakteri, antifungi, dan antijamur. Namun, penggunaan daun salam sebagai bahan alami pengawet ikan memang belum terbukti secara ilmiah. Berdasarkan pemikiran bahwa kandungan daun salam sama dengan kandungan daun teh yang telah terbukti sebagai bahan alami pengawet serta daun salam yang telah lama digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan bumbu penyedap makanan, maka potensi penggunaan daun salam sebagai bahan alami pengawet ikan yang mudah didapatkan dan murah menjadi semakin besar. Apalagi penggunaan daun salam sebagai bahan tambahan makanan selama bertahun-tahun membuktikan bahwa daun salam tidak memiliki kandungan yang bersifat toksik, berbeda dengan daun tembakau yang memiliki kandungan kimia toksik yaitu nikotin sehingga meski memiliki kandungan yang sama seperti daun teh yaitu mengandung flavanoid, alkaloida, polifenol, dan saponin  penggunaannya sebagai bahan alami pengawet ikan tidak dianjurkan.
Penggunaan daun salam sebagai bahan alami pengawet ikan  memerlukan ekstraksi guna mendapatkan bahan aktif antibakteri. Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Maserasi merupakan cara ektraksi yang paling sederhana. Berikut adalah bagan proses ektraksi:
Daun salam
           
  dikeringkan
 dihancurkan





  serbuk daun salam





    dimaserasi dengan larutan etanol





                                               residu                                       ekstrak etanol
                                               
                                                                                                fraksi etanol pekat
Penelitian mengenai jumlah konsentransi yang tepat untuk bahan alami pengawet ikan sangat perlu dilakukan guna mempermudah dalam aplikasi di lapangan.
Minyak atsiri yang terkandung di dalam daun salam juga mempunyai potensi untuk dijadikan bahan alami pengawetan  ikan.


Berikut bagan proses penyulingan minyak atsiri daun salam:
Daun salam
ditimbang
pengeringan dengan matahari ± 3jam
ditimbang
perajangan dengan ukuran ± 1 cm

penyulingan dengan destilasi uap air selama 3-7 jam

pemisahan minyak atsiri dengan disedot suntikan

minyak atsiri daun salam
Penggunaan ekstraksi dan minyak atsiri daun salam memang perlu dibuktikan secara ilmiah dengan dilakukaannya penelitian. Mengingat bahwa daun salam telah lama digunakan sebagai bahan penyedap makanan oleh masyarakat Indonesia, maka dapat dimungkinkan ekstraksi dan minyak atsiri daun salam digunakan sebagai bahan  tambahan dalam proses pengawetan dengan cara pemindangan. Penambahan dapat dilakukan saat perebusan ikan pada proses pemindangan. Perlakuan ini merujuk pada penambahan proses perendaman ekstrak daun teh sebelum perebusan telur asin, hasil yang diperoleh adalah telur menjadi lebih awet karena mendapat dua kali pengawetan yaitu dari garam dan ekstrak daun teh (Zulaeka dan Widiyaningsih, 2005). Penambahan minyak atsiri dan ekstrak daun salam diharapkan memberikan efek pengawetan sehingga ikan mendapat dua kali pengawetan yaitu dari proses pemindangan dan penambahan ektrak dan minyak atsiri. Hasil akhir yang diharapkan adalah pemindangan dengan tambahan ekstraksi dan minyak atsiri daun salam lebih sedap, enak, dan tahan lama. Aplikasi dalam perebusan pemindangan dapat pula dilakukan dengan melapisi ikan dengan daun salam. Hasil yang diharapkan senyawa aktif dalam daun salam dapat melindungi permukaan kulit ikan sehingga menambah pengawetan agar ikan lebih tahan lama serta menambah rasa sedap dan enak.
Penelitian Mu’awan dan Prasetyo (2010) melaporkan bahwa ekstrak daun teh dapat digunakan sebagai pengawet alami ikan dengan cara merendam ikan dalam ekstrak daun teh atau menyuntikan ekstrak daun teh ke dalam tubuh ikan. Berdasarkan hasil tersebut, sehingga memungkinkan bahwa ekstraksi dan minyak atsiri daun salam dapat langsung digunakan sebagai pengawet dengan cara yang sama, yaitu ikan direndam dalam ekstrak daun salam dan penyuntikan ekstrak daun salam ke dalam tubuh ikan. Perlakuan perendaman akan mencegah mikroorganisme pada bagian luar tubuh ikan yang dapat membusukan  ikan, sedangkan  perlakuan penyuntikan berguna untuk mencegah pembusukan oleh mikroorganisme yang berasal dari dalam tubuh ikan.
Efektivitas penggunaan daun salam sebagai bahan alami pengawetan ikan membutuhkan suatu penelitian yang berkelanjutan baik mengenai takaran, konsentrasi dan jumlah yang tepat dalam penggunaannya. Daun salam memiliki kelebihan sebagai bahan alami pengawet ikan dibandingkan dengan bahan alami lainnya. Bahan alami lain yang telah terbukti dapat digunakan sebgai bahan pengawet ikan adalah daun teh (Mu’awan dan Prasetyo, 2010), citosan, asap cair (Setiawan dkk., 1997), jahe, lidah buaya, mahkota dewa dan cocor bebek (Agustini dkk., 2008), kunyit, bawang putih, lengkuas, picung (kluwak), cengkeh dan minyak atsiri (Widaningrum dan Winarti, 2010).
Pemanfaatan daun salam sebagai bahan alami pengawet ikan memiliki keunggulan dan keuntungan, yaitu:
1.         Pemanfaatan daun salam yang belum maksimal memungkinkan untuk mendapatkannya dalam jumlah besar di alam. Hal ini berbeda dengan penggunaan teh sebagai bahan pengawet ikan, karena teh digunakan sebagai bahan baku industri minuman. Sehingga penggunaan daun teh sebagai bahan alami pengawet ikan akan berebut dengan industri minuman, hal ini sangat tidak efektif, mengingat industri minuman teh telah ada cukup lama.
2.        Dari segi harga, daun salam memiliki harga beli yang lebih murah dibandingkan dengan daun teh, citosan dan asap cair. Bahkan dapat diperoleh gratis dengan menanam tanaman salam di pekarangan rumah.
3.        Keberadaan tanaman salam yang dapat tumbuh pada ketinggian yang relatif rendah hingga 1800m diatas permukaan laut merupakan keuntungan karena sangat dekat dengan daerah pesisir yang membutuhkan bahan pengawet ikan dibandingkan dengan tanaman teh yang hidup di daerah pegunungan.  
4.        Penggunaan daun salam sebagai bahan alami pengawet ikan diharapkan dapat lebih terima oleh masyarakat Indonesia, sebab daun salam telah lama digunakan sebagai bahan pelengkap makanan sehingga masyarakat telah terbiasa dengan aroma masakan atau makanan dengan tambahan daun salam. Daun salam diharapkan tidak mengubah rasa ikan, tidak seperti daun teh yang mana pemanfaatannya sebagai minuman menimbulkan rasa pahit, juga tidak seperti buah picung (kluwak) yang memiliki rasa pahit jika biji dalam kondisi tidak baik.
Penggunaan daun salam sebagai bahan alami pengawet ikan diharapkan dapat menekan penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan.





V.                SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1.       Simpulan
Senyawa kimia yang terkandung dalam daun salam mempunyai aktivitas anti bakteri, sehingga daun salam dapat dimanfaatkan sebagai pengawet alami ikan.
Penggunaan daun salam sebagai bahan pengawet alami ikan lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan bahan pengawet alami lain.

5.2.       Rekomendasi
Melihat  potensi  dan  prospek daun salam sebagai bahan pengawet alami ikan,  maka penelitian  lebih  lanjut  diperlukan  untuk  memaksimalkan  manfaat  yang dimilikinya. Terlebih lagi bagi negara yang memiliki potensi perikanan yang besar, sehingga penelitian mengenai pengolahan produk perikanan dirasa sangat penting demi memajukan sektor perikanan.




DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, Rabiatul. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.


Agustini, Winarni.,dkk. (2008). Paket Teknologi Penanganan Ikan Segar Dengan Pemanfaatan Bahan Alami. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro.


Algiansyah.2009. Kemampuan Ekstrak Dedaunan Berpotensi Antioksidan untuk Memodulasi Apostosis pada Sel Khamir. Skripsi. Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.


Barus, Pina.2009. Pemanfaatan Bahan Pengawet dan Antioksidan Alami pada Indutri Bahan Makanan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kimia Analitik pada Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.


Hastuti, Sri.2010. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Formaldehid pada Ikan Asin di Madura. AGROINTEK Vol. 4, No.2 Agustus 2010.


Hustani, Mega N. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) terhadap Bakteri Penyebab Diare. Skripsi. Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan  Universitas Jenderal Soedirman.


Jawetz, E., Melnick, J.L., dan E.A. Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit ITB, Bandung.


Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Depok: Penebar Swadaya.


Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Radja Grafindo Persada, Jakarta. 


Masduki, I. 1996. Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Arecha catechu) terhadap S. aureus dan E.coli In vitro. Cermin Dunia Kedokteran, 109,22.

Mu’awan, Lutfhi dan Prasetyo, Agung B.T. 2010. The Potential of the Tea Leaf Extract (Camellia synensis L) as Natural Marine Fish Preservatives. Prepared to Follow National Selection of Internation Conference of Young Scientist 2011. State Senior High School 1 Purwareja Klampok Banjarnegara.


Noveriza, Rita dan Miftakhurohmah.2010. Efektivitas Efek Metanol Daun Salam (Euginia polyantha) dan Daun Jeruk Purut (Cytrus histrix) sebagai Antijamur pada Pertumbuhan Fusarium oxysporum. Jurnal LITRI Vol.16 No.1. Maret 2010:6-11.


Nurhidayati, Ratna. 2007. Pengaruh Lama Penyulingan dan Perbedaan Konsentrai terhadap Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Salam. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman.


Robinson,T. 1995. Kandungan Kimia Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah Padmawinta, K. Penerbit ITB, Bandung.


Setiawan, Iwan., Darmadji, Purnomo., dan Rahardjo, Budi. 1997. Pengawetan Ikan dengan Pencelupan dalam Asap Cair. Prosiding Seminar Teknologi Pangan.


Sumono, Agus dan Wulan, Agustin. 2009. Kemampuan Air Rebusan Daun Salam (Eugenia polyantha W) dalam Menurunkan Jumlah Koloni Bakteri Streptococcus sp. Majalah Farmasi Indonesia 20 (3): 112-117.


Utami, Indah Wahyu. 2008. Efek Fraksi Air Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium Polyanthum Wight.) Terhadap Penurunan Kadar  Asam Urat Pada Mencit Putih (Mus Musculus) Jantan Galur Balb-C Yang Diinduksi Dengan Kalium Oksonat. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.


Widaningrum dan Winarti, Christina. 2010. Kajian Pemanfaatan Rempah-Rempah Sebagai Pengawet Alami pada Daging. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII.


Widiyawati.2012. Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum) terhadap Candida albicans. Skripsi. Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan  Universitas Jenderal Soedirman.
Yuharmen., Eryanti, Yum., dan Nurbalatif. 2002. Uji Aktivitas Antimikroba Minyak Atsiri dan Ekstrak Metanol Lengkuas (Alpinia galanga). Laporan Penelitian. Jurusan Kimia Universitas Riau.


Zaelanie, Kartini dan Kartikaningsih, Hartati. 2008. Pengaruh pengukusan dan Penggorengan pada Kadar Formalin Ikan Layang (Decapterus spp) Berformalin.Jurnal Penelitian Perikanan Vol.11 No:1, Juni 2008: 37-41.


Zulaekah, Siti., Widiyaningsih, Endang Nur. 2005. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Teh pada Pembuatan Telur Asin Rebus terhadap Jumlah Bakteri dan Daya Terimanya. Jurnal Penelitian dan Sains Teknologi Vol: 6 No:1 :1-13.