Selasa, 17 Januari 2012

Analisis Kualitas Air Sungai Banjaran (Lap Limnologi)

 PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
            Ekosistem  lotik (sungai) dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Selanjutnya aliran dari beberapa mata air akan membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal.  Selanjutnya aliran sungai akan memasuki zona protamal, yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relatif lebih landai dibandingkan zona rithral (Barus, 2002).
Sungai merupakan suatu sistem yang dinamis dengan segala aktivitas yang berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat didalamnya. Adanya dinamika tersebut akan menyebabkan suatu sungai berada dalam keseimbangan ekologis sejauh sungai itu tidak menerima bahan-bahan asing dari luar. Pada batas-batas kisaran tertentu pengaruh bahan asing ini masih dapat ditolerir dan kondisi keseimbangan masih tetap dipertahankan (Barus, 2002).
Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah utara ke arah selatan dan bermuara pada sungai Serayu di daerah Patikraja. Sungai Banjaran memiliki luas DAS kira-kira 47.16 km2. DAS Banjaran terletak di Kabupaten Banyumas yang meliputi enam Kecamatan yaitu Kecamatan Baturaden, Kedungbanteng, Purwokerto Utara, Purwokerto Barat, Purwokerto Selatan, Purwokerto Timur, dan Patikraja.
Pemanfaatan lahan di sekitar sungai Banjaran yaitu persawahan, pertanian, pemukiman penduduk, hotel, dan villa  sedangkan air sungai di manfaatkan sebagai keperluan irigasi, perikanan, mandi, cuci dan kakus (WC). Sungai ini juga dimanfaatkan sebagai pembuangan limbah, baik rumah tangga maupun pertanian. Keberadaan sungai Banjaran sangat penting bagi warga di sepanjang daerah aliran, mereka sangat bergantung terhadap sungai ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan irigasi pertanian. Pemanfaatan air oleh manusia berpengaruh terhadap keadaan fisika kimianya dan dapat menyebabkan kerusakan pada daerah aliran sungai. Kebergantungan ini terbukti dengan penolakan warga di sepanjang aliran sungai Banjaran terhadap rencana eksploitasi sungai Banjaran oleh PDAM, warga beralasan bahwa pasokan air bagi pertanian selalu berkurang dan akan makin berkurang jika dilakukan ekploitasi (Harian Kompas, 2007).
 Menurut  Barus (2002), pembuangan berbagai jenis limbah secara langsung dari pemukiman (domestik), industri, pertanian, dan peternakan ke badan sungai tanpa terlebih dahulu diolah dalam instalasi pengolahan limbah, akan berakibat buruk bagi kehidupan jasad hidup di air. Kualitas air mencakup keadaan fisik, kimia, dan biologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan air untuk kehidupan manusia, pertanian, industri, rekreasi, dan pemanfaatan air lainnya. Adanya perubahan sifat fisika, kimia, dan biologi suatu peairan dalam hal ini dikenal sebagi perubahan kualitas air, akibat adanya perubahan pemanfaatan lahan DAS (Asdak, 1995).
Monitoring kualitas air secara fisik dapat dilakukan dengan mengukur peubah-peubahnya seperti suhu, muatan sedimen, kecepatan aliran, ukuran batuan dasar sungai, turbiditas/kekeruhan, warna, bau, keadaan kanopi dan jenis vegetasi di sekitar sungai. Peubah-peubah yang digunakan pada pemantauan fisik merupakan informasi pendukung dalam penentuan kualitas air secara kimia dan biologi. Peubah-peubah yang diamati pada monitoring kualitas air secara kimia adalah keasaman (pH), oksigen terlarut, daya hantar listrik, kandungan nitrat, nitrit, amonia, fosfat, keberadaan bakteri dan kandungan bahan kimia lainnya sesuai dengan penggunaan air (Rahayu, 2009).
Pengukuran untuk menentukan kualitas air di Sungai Banjaran, didasarkan pada beberapa parameter yang dapat berubah pada air sungai tersebut dengan adanya tata guna lahan dan peruntukan yang beragam. Pemeriksaan kualitas air tersebut akan memberikan informasi apakah kualitas air itu masih baik ataukah sudah buruk. Pemantauan kualitas air sungai sangat diperlukan untuk menjaga kelestariannya mengingat kebutuhan air di masa yang akan datang semakin meningkat dan adanya kecenderungan bahwa kualitas air semakin lama semakin menurun dengan adanya aktivitas di sekitarnya maupun oleh proses alam.
1.2. Tujuan
            Tujuan dari praktikum analisis kualitas fisik, kimia dan biologi pada bagian hulu dan hilir Sungai Banjaran  adalah untuk mengetahui :
1.      Kualitas fisik, kimia, dan biologi bagian hulu dan hilir Sungai Banjaran
2.      Perbandingan kualitas fisik, kimia, dan biologi antara bagian hulu dan hilir Sungai Banjaran.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.  Sungai
Sungai merupakan daerah perairan air tawar yang mengalir, yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu daerah hulu, hilir, dan muara sungai. Sungai adalah perairan yang airnya mengalir (lotic water) secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari tanah, air hujan, atau air permukaan yang akhirnya bermuara ke laut, atau perairan yang terbuka. Daerah Aliran Sungai (DAS) dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Daerah hulu dicirikan oleh: merupakan daerah konservasi, mempunyai kecepatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (> 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh: daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil (< 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh  bangunan irigasi. Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari daerah hulu dan hilir (Asdak, 1995).
            Salah satu sungai yang bervariasi dalam tata guna lahan dan peruntukannya adalah Sungai Banjaran. Perubahan tata guna lahan inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem sungai Banjaran. Salah satu contoh perubahan pemanfaatan daerah sekitar aliran adalah pembangunan berbagai hotel dan villa di Baturaden yang merupakan hulu dari sungai Banjaran. Hal ini berakibat air hujan yang jatuh di kawasan wisata Baturraden tidak banyak lagi yang dapat meresap kedalam tanah melainkan lebih banyak melimpas (run-off) sehingga meningkatkan debit banjir di sungai Banjaran terutama di hilir sungai (Suroso dan Susanto, 2006).
Daerah hulu-hilir suatu DAS memiliki keterkaitan biofisik, contohnya aktivitas perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak hanya akan memberikan dampak di daerah dimana kegiatan itu berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya (Asdak, 1995).
   Kondisi kualitas air dapat diketahui dengan parameter fisika, kimia dan biologi yang langsung berhubungan dengan perairan dan dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan usaha perikanan yang produktif. Faktor-faktor abiotik yang menentukan kualitas suatu perairan dan sering diukur pada setiap studi ekosistem perairan adalah temperatur, penetrasi cahaya, kandungan gas-gas respirasi dan lain-lain  (Odum, 1971).



2.2.      Parameter Fisik Air Sungai
2.2.1.   Kecepatan arus
Arus merupakan suatu gerakan air yang mengakibatkan perpindahan horizontal dan vertikal  masa air. Arus merupakan gerakan yang mengalir dari suatu massa air yang disebabkan oleh densitas air laut, tiupan angin atau dapat pula disebabkan gerakan bergelombang panjang. Arus juga dapat dikarenakan pasang surut (Rejeki, 2001).
Pola arus dan asal arus diperairan umum (danau, sungai, dan reservoir) berbeda dengan di laut. Pada perairan umum yang mengalir (lotic system) misal sungai, air berasal dari tiga sumber, yaitu mata air, hujan, dan aliran permukaan. Aliran sungai dipengaruhi oleh adanya dua kekuatan yaitu gravitasi dan hambatan (friksi). Oleh karena itu, kekuatan arus di sungai tergantung pada letak daerahnya. Pada daerah hulu, kecepatan arusnya tinggi, sedangkan di daerah hilir kecepatan arusnya menurun  (Rejeki, 2001).
Kecepatan arus di perairan umum yang tergenang (lentic water bodies) misal danau dan reservoir pada umumnya lebih rendah daripada kecepatan arus di laut ataupun sungai. Kecepatan arus di perairan danau atau reservoir dipengaruhi oleh angin dan kecepatan arus di perairan lentic sangat bervariasi, dan hal ini bukan faktor–faktor dalam pemilihan lokasi untuk budidaya kolam (Hutabarat, 2000). Faktor penyebab terjadinya arus yaitu dapat dibedakan menjadi tiga komponen yaitu: gaya eksternal, gaya internal angin, gaya-gaya kedua yang hanya datang karena fluida dalam gerakan yang relatif terhadap permukaan bumi. Dari gaya-gaya yang bekerja dalam pembentukan arus antara lain tegangan angin, gaya viskositas, gaya coriolis, gaya gradien tekanan horizontal, gaya yang menghasilkan pasang surut (Supangat, 2003).
Kecepatan aliran dapat diukur dengan metode current-meter dan metode apung. Current meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran (kecepatan arus). Ada dua tipe current meter yaitu tipe baling-baling (proppeler type) dan tipe canting (cup type). Oleh karena distribusi kecepatan aliran di sungai tidak sama baik arah vertikal maupun horisontal, maka pengukuran kecepatan aliran dengan alat ini tidak cukup pada satu titik.
2.2.2.      Debit air
Debit air adalah satuan besaran air yang keluar dari daerah aliran sungai (DAS). Satuan debit yang digunakan dalam sistem satuan SI adalah meter kubik per detik (m3 / detik). Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem SI besarnya debit dinyatakan dalam persamaan D = A x V, dimana A adalah luas penampang (m2) dan V adalah kecepatan aliran (m / detik) (Asdak, 2002).
Proses terbentuknya debit adalah dengan adanya aliran air dari satu atau beberapa sumber air yang berada di ketinggian, umpamanya di sebuah puncak bukit atau gunung yang tinggi, dimana air hujan sangat banyak jatuh di daerah itu, kemudian terkumpul di bagian yang cekung, lama kelamaan dikarenakan sudah terlalu penuh, akhirnya mengalir keluar melalui bagian bibir cekungan yang paling mudah tergerus air. Selanjutnya air itu akan mengalir diatas permukaan tanah yang paling rendah. Karena ada bagian-bagian dipermukaan tanah yang tidak begitu keras, maka mudah terkikis sehingga alur-alur yang tercipta makin hari makin panjang. Seiring dengan makin deras dan makin seringnya air mengalir di alur itu, maka semakin panjang dan semakin dalam. Alur itu akan berbelok, atau bercabang, apabila air yang mengalir dibagian itu terhalang oleh batu sebesar alur itu, atau batu yang banyak, demikian juga dgn sungai di bawah permukaan tanah, terjadi dari air yang mengalir dari atas, kemudian menemukan bagian-bagian yang dapat ditembus ke bawah permukaan tanah dan mengalir ke arah dataran rendah lama kelamaan sungai itu akan semakin lebar. Faktor-faktor penentu debit air diantaranya yaitu, intensitas hujan, penggundulan hutan, pengalihan hutan menjadi lahan pertanian, intersepsi, evaporasi dan transpirasi (Barus, 2002).
2.2.3.      Tipe substrat
Substrat merupakan tempat hidup bagi invertebrata bentik. Tipe substrat dapat mengontrol invertebrata bentik yang ada di perairan (Hynes, 1972).  Substrat merupakan faktor pengontrol utama pada distribusi organisme benthos, yang terbagi menjadi eroding (batu atau kerikil) dan depositing (liat atau lumpur). Atau substrat yang terdapat di antara keduanya, yaitu pasir. Substrat batu atau kerikil terdapat pada perairan yang bergolak atau biasanya pada daerah hulu. Sedangkan substrat lumpur terdapat pada perairan yang menggenang (sluggish water) (Sudaryanti, 1995).
Substrat pasir atau liat biasanya merupakan tipe dasar yang tidak sesuai dan tidak mendukung kelimpahan dan keanekaragaman individu benthos. Sedangkan substrat batu yang datar/pipih biasanya menghasilkan variasi organisme benthos yang besar dan paling padat (Odum, 1993). Sudaryanti (1995), mengelompokkan makrozoobenthos yang hidup pada substrat batu dan kerikil yaitu: Ephemeroptera, Plecoptera, Tricoptera, Diptera, Coleoptera, Gastropoda dan Planaria. Sedangkan makrozoobenthos yang hidup pada tipe substrat lunak (lumpur) adalah: Chironomidae, Prosobranchia, Unionidae dan Sphaeriidae.
Substrat dasar perairan dapat diketahui secara langsung berdasarkan dari hasil pengamatan di lapang yang dapat dibedakan menurut diameternya. Selain itu, substrat juga dapat diketahui dengan melakukan pengambilan sampel substrat dasar lalu dilakukan pengayakan dan kemudian dibandingkan dengan tabel ukuran partikel dalam Sudaryanti (1997).




 Tabel 2. Beberapa Jenis Ukuran Diameter Substrat.
Jenis
Diameter
Batu bundar besar (boulder)
> 256 mm
Batu kecil (cobble)
64-256 mm
Kerikil besar (pebble)
16-64 mm
Kerikil kecil (gravel)
2-16 mm
Pasir (sand)
0,006-2 mm
Lumpur (silt)
0,004-0,06 mm
Tanah liat (clay)
< 0,004 mm
              (Sudaryanti, 1997).
2.2.4.      Suhu
Suhu merupakan faktor utama di dalam ekologi sungai. Suhu dapat menentukan distribusi pada organisme air, yaitu mengatur aktifitas organisme air dan merangsang atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan organisme tersebut. Tetapi suhu juga dapat menyebabkan kematian, ketika terjadi perubahan suhu menjadi lebih panas atau dingin secara mendadak. Penurunan suhu perairan akan menghambat perkembangan, sedangkan peningkatan suhu perairan akan mempercepat aktifitas organisme air (Mackentum, 1969 dalam Sudaryanti, 1995). Menurut Effendi (2003) kisaran suhu optimum bagi organisme di perairan adalah 20o-30o C.
Suhu pada suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (“latitude”), ketinggian dari permukaan laut (“altitude”), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman badan air (Effendi, 2003). Selain itu, menurut Brehm dan Meijering (1990) dalam Barus (2001) pola suhu pada ekosistem perairan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi.
Suhu suatu sungai juga akan berfluktuasi mengikuti aliran air mulai dari hulu menuju ke arah hilir/muara. Secara umum dapat dijelaskan bahwa daerah hulu mempunyai fluktuasi suhu tahunan yang paling kecil, kemudian sepanjang aliran sungai fluktuasi suhu tahunan akan semakin besar dan mencapai maksimum di daerah hilir. Dengan kata lain bahwa daerah hulu mempunyai suhu tahunan yang relatif konstan dan lebih dingin. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa pada mata air belum banyak terjadi kontak dengan udara sehingga menyebabkan suhu air akan relatif konstan dan rendah. Begitu terjadi aliran air di daerah hulu maka proses penyerapan panas dari atmosfer akan semakin intensif, terutama apabila kecepatan arus cukup tinggi yang akan semakin mengefisienkan proses penyerapan panas dari atmosfer ke dalam air (Barus, 2001)
2.2.5.      TSS (Total Suspended Solid)
TTTTSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan anorganik yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori-pori 0,45 μm. Zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat, misalnya pasir halus, liat dan lumpur alami yang merupakan bahan-bahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-bahan organik yang melayang-layang dalam air. Bahan-bahan organik yang merupakan zat tersuspensi terdiri dari berbagai jenis senyawa seperti selulosa, lemak, protein yang melayang-layang dalam air atau dapat juga berupa mikroorganisme seperti bakteri, alga, dan sebagainya. Bahan-bahan organik ini selain berasal dari sumber-sumber alamiah juga berasal dari buangan kegiatan manusia seperti kegiatan industri, pertanian, pertambangan atau kegiatan rumah tangga. Secara sederhana tampilan air yang mengandung TSS tinggi memberikan warna pada air menjadi cokelat (air sungai, misalnya), merah kecokelat-cokelatan (air gambut) maupun keruh. Disamping warna juga memberikan bau pada air (Fardiaz, 1992).
TTTTSS (Total Suspended Solid) dapat berdampak buruk pada lingkungan, terutama dapat menghambat resapan air dalam tanah dengan cara menutupi pori-pori. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air, yaitu mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis. Menyebabkan kekeruhan air akan meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produsen. TSS berdampak tidak langsung terhadap kesehatan karena TSS dapat memberikan perubahan warna pada air, yaitu air yang kandungan TSS tinggi akan mengakibatkan air menjadi keruh, sehingga jika air tersebut tidak sengaja terminum maka akibatnya yaitu timbul gangguan pencernaan, seperti diare (Fardiaz, 1992).
2.2.6.      TDS (Total Dissolve Solid)
TTTDS (Total Dissolve Solid) merupakan parameter fisik kualitas baku dan merupakan ukuran zat terlarut (baik itu zat organik maupun anorganik,  misalnya garam) yang terdapat pada sebuah larutan. TDS meter menggambarkan jumlah zat terlarut dalam part per million (ppm) atau sama dengan milligram per liter (mg/L) pada air. Aplikasi utama TDS  adalah dalam studi kualitas air untuk aliran, sungai, dan danau walaupun TDS umumnya dianggap bukan sebagai polutan utama (misalnya tidak dianggap terkait dengan efek kesehatan), tetapi agak digunakan sebagai indikasi karakteristik estetika air minum dan sebagai indikator agregat kehadiran area yang luas dari kontaminan kimia. Senyawa kimia TDS merupakan total zat terlarut yang terdiri dari zat organik dan anorganik.
Pembentukan TDS secara alami yaitu dari pelapukan batu dan tanah. TDS sering ditemukan dalam bentuk larutan yag berasal dari limpasan air pertanian, aliran air dari tanah yang tercemar, sumber pencemar air dari pabrik atau pengolahan limbah pabrik. Tampilan air yang mengandung TDS tinggi seringkali tidak merubah warna air (kelihatan jernih), namun memberikan rasa spesifik terhadap air. Contoh sederhana dari air yang mengandung TDS tinggi adalah air laut dan air payau (Fardiaz, 1992).
TDS berdampak tidak langsung terhadap kesehatan karena efek kandungan TDS dalam air adalah memberi rasa pada air, yaitu air menjadi seperti air garam. Sehingga jika air yang tidak sengaja mengandung TDS terminum, maka akan terjadi akumulasi garam di dalam ginjal manusia dalam waktu yang lama. Sehingga lama kelamaan akan mempengaruhi fungsi fisiologis ginjal (Fardiaz, 1992).
2.2.7.      Warna
Warna air secara visual dapat diamati terlihat bening atau berwarna lain. Warna air disebabkan oleh pengaruh timbal balik antara berbagai zat terlarut dalam air dengan intensitas cahaya matahari. Warna cokelat pada air sungai memberi indikasi adanya kekeruhan akibat sedimen di dalam air. Air yang jernih dan bening umumnya adalah air yang tidak mengalami pencemaran. Namun tidak selamanya air yang bening merupakan air yang bebas dari polusi, karena pencemaran secara kimiawi bisa saja tidak menimbulkan perubahan warna. Adanya zat humin yang terlarut dalam air menyebabkan warna air berfluktuasi antara hijau kekuningan, kuning, cokelat, dan cokelat hitam. Logam berat seperti Fe yang mengalami oksidasi di dalam air akan menimbulkan warna merah kecoklatan (Barus, 2001).
Organisme air juga berperan dalam membentuk warna perairan. Kelompok plankton tertentu dapat menimbulkan warna hijau-biru, hijau kekuningan, kuning atau merah. Ganggang biru yang mati dalam perairan akan menyebabkan perubahan warna air menjadi kemerahan akibat zat warna yang terdapat dalam protein tubuhnya (Phycocianin dan Phycoerythrin) terlarut di dalam air. Air limbah yang berasal dari aktivitas domestik akan terlihat berwarna abu-abu sampai kuning dan apabila masuk ke dalam sistem perairan alami juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna (Barus, 2001).
2.2.8.      Bau
Air yang tecemar akan menimbulkan bau yang sangat menusuk disebabkan oleh bau yang berasal dari berbagai zat yang terlarut dalam air. Selain itu bau dapat dihasilkan oleh aktivitas mikroorganisme yang berlangsung secara anaerob yang akan menghasilkan amoniak dengan bau yang sangat tajam. Berbagai kelompok mikroorganisme di dalam air juga dapat menghasilkan bau yang bervariasi. Bau yang bersifat aromatis dihasilkan oleh Asterionella formosa, Diatoma fulgare, Tabellaria fenestrate, Cryptomonas erosa, Mallomonas caudata, dan Synedra ulna. Bau amis (seperti bau ikan) dihasilkan oleh Dinobryon sertularia, Mallomonas acaroides, Synura petersenii, Uroglenopsis americana, Volvox globator, Peridinium cinctum, dan Ceratium hirudinella (Barus, 2002).
2.3.      Sifat Kimia Sungai
2.3.1.   Derajat Keasaman (pH)
            Derajat keasaman sangat menentukan kualitas air karena sangat menentukan susunan senyawa kimiawi di dalam air. Besarnya nilai pH dalam perairan dapat dijadikan indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur kimia, dan unsur-unsur hara yang bermanfaat bagi kehidupan organisme akuatik (Barus, 2002).
         pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas senyawa logam berat terutama ion Alumunium yang bersifat toksik, semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme air. Sedangkan pH yang tinggi menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang bersifat sangat toksik bagi organisme air (Barus, 2002). Usaha budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5-9,0, dan kisaran optimal cocok untuk kehidupan biota akuatik adalah pH 7,5-8,7 (Kordi, 2005).
2.3.2.   Oksigen Terlarut
Oksigen dibutuhkan oleh hampir semua organisme untuk hidupnya. Pada kehidupan hewan, oksigen merupakan salah satu komponen utama di dalam proses metabolisme dan proses respirasi, namun kebutuhan akan oksigen pada setiap hewan bergantung pada jenis, stadia dan aktivitasnya. Oksigen terlarut di dalam air menunjukkan cadangan oksigen dalam air sungai tersebut. Oksigen dapat merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran makhluk hidup dalam air. Kadar oksigen terlarut dalam perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l. Oleh karena itu kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air. Penurunan kadar oksigen terlarut dalam perairan merupakan indikasi kuat adanya pencemaran terutama pencemaran bahan organik (Siradz, 2008).
Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan yang menghasilkan oksigen (Schworbel, 1987 dalam Barus, 2002 ). Nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya tidak lebih kecil dari 8 mg/L (Barus, 2002).
2.3.3.   CO2 Bebas
            Istilah karbodioksida bebas (free CO2) digunakan untuk menjelaskan karbondioksida yang larut dalam air, selain yang berada dalam bentuk terikat sebagai ion bikarbonat dan ion karbonat. Karbondioksida bebas menggambarkan keberadaan gas karbondioksida di perairan yang membentuk kesetimbangan dengan karbondioksida di atmosfer (Effendi, 2003).
Karbondioksida akan selalu bereaksi dengan air hingga menghasilkan asam karbonat (H2CO3). Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari atmosfir dan hasil respirasi organisme perairan. Udara yang selalu bersentuhan dengan air akan mengakibatkan terjadinya proses difusi CO2 ke dalam air (Barus, 2002).
Kadar karbondioksida bebas di perairan berkaitan erat dengan bahan organik dan kadar oksigen terlarut (Sastrawijaya, 1991). Peningkatan kadar CO2 diikuti oleh penurunan kadar oksigen terlarut. Karbondioksida akan mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan terutama pada kondisi DO < 2 mg/l. Pada kondisi demikian, maka akan terjadi keracunan CO2, sehingga daya serap oksigen oleh hemoglobin akan terganggu yang disebut dengan methemoglobinemia. Keadaan ini dapat mengakibatkan organisme mati lemas karena sesak nafas. Kadar karbondioksida sebesar 5 ppm (mg/L) di dalam air masih dapat ditolerir oleh hewan air dengan syarat kadar oksigennya cukup tinggi (Kordi, 2005).
2.3.4    Biological Oxygen Demand (BOD)
Nilai Biological Oxygen Demand (BOD) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobi dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 20° C. (Forstner 1990 dalam Barus 2002).  Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik. Artinya hanya senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga (Barus, 2002).
BOD adalah angka indeks oksigen yang diperlukan oleh bahan pencemar yang dapat teruraikan (biodegradable pollutant) di dalam suatu sistem perairan selama berlangsungnya proses dekomposisi aerob (Asdak, 1995). Dekomposisi aerob adalah proses perubahan kimia dari terurainya mikroba-mikroba yang menyusun molekul organik menjadi bentuk lain yang lebih sederhana dan bersifat “permanen” seperti karbondioksida, fosfat, dan nitrat. BOD juga dapat diartikan sebagai angka indeks untuk tolak ukur tingkat pencemar dari limbah yang berada dalam suatu sitem perairan.
Sistem perairan alamiah umumnya mempunyai angka BOD berkisar antara 2-3 ppm (Asdak, 1995). Nilai BOD>10 ppm dapat dikategorikan sebagai perairan yang kurang baik, karena suatu perairan yang tingkat pencemarannya rendah dapat dikategorikan sebagai perairan yang baik, maka kadar oksigen biokimianya (BOD) berkisar antara 0 - 10 mg/L (Salmin, 2005).
2.3.5.   Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah indikator tingkat pencemaran lain dan dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan secara kasar besarnya angka BOD (Asdak, 1995). COD menunjukkan jumlah oksigen total yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non-biodegradable). Sedangkan BOD hanya menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air.  Oleh karena itu nilai COD pada umumnya lebih tinggi daripada nilai BOD. Nilai COD dapat digunakan sebagai ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut (DO) di dalam air (Siradz, 2008).
2.4.      Sifat Biologi Sungai
            Suatu ekosistem, perairan sungai mempunyai berbagai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi. Komponen pada ekosistem sungai akan terintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas ekosistem tersebut.
            Plankton dan Bentos merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan sungai. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan indeks saprobik, dimana indeks ini digunakan untuk mengetahui tingkat ketergantungan atau hubungan suatu organisme dengan senyawa yang menjadi sumber nutrisinya. Sehingga dapat diketahui hubungan kelimpahan plankton dengan tingkat pencemaran suatu perairan (Dahuri, 1995; Anonim, 2003).
            Selain plankton organisme bentos juga dapat digunakan sebagai indikator biologis dalam mempelajari ekosistem sungai (Canter dan Hills, 1979). Hal ini disebabkan adanya respon yang berbeda terhadap suatu bahan pencemar yang masuk dalam perairan sungai dan bersifat immobile (Hynes, 1974; Hilsenshoff, 1977). Sifat biologi perairan dapat dilihat dari kelimpahan/kepadatan dan keragaman plankton dan benthos.
2.4.1.   Kepadatan
Kepadatan makrobenthos dari suatu perairan tergantung pada prokduktifitas perairan. Biomassa atau kepadatan makrobenthos dari suatu dasar perairan bervariasi dari tempat ke tempat tergantung dari tersedianya makanan. Keberadaan makrobentos pada suatu badan perairan dijamin oleh persediaan makanan (Ryadi, 1984).
2.4.2.   Keragaman
Keragaman adalah sifat suatu komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya. Keragaman merupakan karakteristik tingkat komunitas berdasarkan organisme biologi. Keragaman jenis merupakan karakteristik tingkat komunitas berdasarkan organisme biologisnya (Soegianto, 1994). Kisaran dari nilai indeks menurut Krebs (1985), dapat dikategorikan sebagai berikut :
Tabel 3. Kisaran Nilai Indeks Keanekaragaman Organisme
Nilai H’
Keanekaragaman
0<H’<2,302
Keanekaragaman rendah
2,302
Keanekaragaman sedang
H’>6,907
Keanekaragaman tinggi
            Sumber : Krebs (1985)

III. MATERI DAN METODA
3.1.      Materi Praktikum
3.1.1.      Alat
 Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah buret dan statif, labu erlenmeyer, pipet karet atau pipet seukuran, labu takar, gelas ukur 5mL, 10mL, 100mL, dan 500mL, termometer, Hand Refractometer, stop watch, botol mineral, tiang pancang, timbangan analitis, oven, erlenmeyer, botol Winkler, dan keping sechii.
3.1.2        Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah kertas pH universal (0-14), tali rafia, kantong plastik, larutan MnSO4, larutan KOH-KI, larutan Na2S2O3 0,025 N, larutan H2SO4 4 N, indikator amilum 0,5%, larutan Na2CO3 0,01 N, indikator phenolpthalein 0,5%, larutan KMnO4  0,01N, larutan asam oksalat 0,01 N, larutan H2SO4 pekat, aquades, formalin, dan sampel air dari Sungai Banjaran.
3.2.      Metode Praktikum
3.2.1.      Sifat Fisik
3.2.1.1.   Penentuan Kecepatan Arus
Pengukuran kecepatan arus diukur menggunakan metode apung dengan mengikatkan botol yang terisi air sebanyak 80% pada tali rafia sepanjang 10 meter kemudian dihanyutkan ke sungai. Waktu yang dibutuhkan botol tersebut untuk hanyut sepanjang 10 meter dicatat, dan pengukuran dilakukan di beberapa titik bagian sungai. Rumus yang digunakan sebagai berikut :
Keterangan :
V = kecepatan Arus (m/s)
S = Jarak (m)
t  = waktu (s)
3.2.1.2.   Pengamatan Debit Air
Metode yang digunakan adalah cross sectional area, yaitu dengan menghitung kecepatan arus sungai, dan menghitung luas penampang saluran air/sungai, kemudian dihitung menggunakan rumus:
Q = V x A
Keterangan :
Q = Debit air (m3) 
 V = Kecepatan Arus (m/s)
A = Luas penampang (m2)
3.2.1.3.   Penentuan Tipe Substrat
               Estimasi secara visual persentasi bagian dasar sungai yang tertutup lumpur, pasir, kerikil, dan  batu.
3.2.1.4.   Penentuan Suhu
               Thermometer celcius dicelupkan ke dalam air sungai selama kurang lebih 10 menit, kemudian lakukan pencatatan setelah skala menunjukan angka yang konstan. Pengamatan dilakukan di beberapa titik bagian sungai.

3.2.1.5.  Penentuan TSS (Total Suspended Solid)
               Pertama-tama kertas saring whatman No. 41 yang akan digunakan dibilas dengan akuades dan dikeringkan dalam oven pada suhu 103-105 oC selama kurang lebih 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama (kurang lebih 15 menit) dan ditimbang (nilai B). Kemudian saring sampel air sekitar 50-100 ml dengan menggunakan kertas saring yang sudah ditimbang tersebut, selanjutnya kertas saring yang berisi bahan-bahan yang tersaring tersebut dikeringkan pada suhu 103-105 oC selama kurang lebih 15 menit dan ditimbang beratannya (nilai A). Kemudian dilihat TSS dengan rumus:
  mg/L
Keterangan :
A =  berat kertas saring dan residu (mg)
B =  berat kertas saring (mg)
3.2.1.6. Penentuan TDS (Total Disolved Solid)       
Pertama-tama cawan porselin yang akan digunakan dibilas dengan akuades dan dikeringkan dalam oven pada suhu 103-105 oC selama kurang lebih 1 jam, kemudian cawan porselen didinginkan dalam desikator selama kurang lebih 15 menit, dan ditimbang (nilai B). Kemudian sampel yang akan digunakan disaring secukupnya menggunakan kertas saring whatman no. 41 dan filtratnya ditampung dan diambil 10-20 ml, kemudian masukan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya cawan porselin yang berisi filtrat kembali dikeringkan pada suhu 103-105 0C selama + 1 jam kemudian didinginkan dalam deksikator selama  + 15 menit dan ditimbang beratnya  (nilai A). Kemudian dilihat TDS dengan rumus:
  mg/L
Keterangan :
A =  berat cawan porselin dan residu (mg)
B =  berat kertas porselin (mg)
3.2.1. 7. Pengamatan Warna
               Pengamatan warna perairan di lakukan secara visual menggunakan indera penglihatan untuk mengetahui warna dari suatu perairan.
3.2.1. 8. Pengamatan Bau
               Pengamatan bau perairan dilakukan secara manual menggunakan indera penciuman untuk mengetahui bau dari perairan.
3.2.2.      Sifat Kimia
3.2.2.1.   Penentuan Derajat Keasaman (pH)
Kertas indikator pH diambil satu lembar dan dicelupkan ke dalam air selama ± 5 menit. Kemudian perubahan warna yang terjadi pada kertas pH tersebut dicocokkan dengan warna standar dan dicatat hasilnya.
3.2.2.2.   Penentuan Oksigen Terlarut
  Sampel air diambil dengan botol Winkler sebanyak 250 mL, lalu ke dalamnya ditambahkan 1 mL larutan MnSO4 dan 1 mL larutan KOH-KI dengan bantuan pipet seukuran. Kemudian botol sampel tersebut ditutup dan dihomogenkan kemudian didiamkan selama ± 2 menit sampai terjadi endapan berwarna cokelat atau sampai sekurang–kurangnya cairan supernatan menjadi tampak jernih. Selanjutnya ke dalam botol dimasukkan larutan H2SO4 pekat sebanyak 1 mL dengan bantuan pipet mohr. Botol ditutup kembali dengan hati-hati kemudian dikocok sampai seluruh isi botol tercampur rata, dan endapan menjadi larut dan berwarna cokelat kekuningan. Kemudian diambil sebanyak 100 mL dengan gelas ukur dan dimasukan ke dalam labu erlenmeyer. Kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,025 N yang sudah distandarisasi dan labu erlenmeyer dikocok hingga tercampur merata sampai terjadi perubahan warna larutan dari cokelat sampai kuning muda. Lalu ke dalamnya ditambahkan indikator amilum sebanyak 10 tetes hingga larutan berubah menjadi warna biru. Titrasi dilanjutkan kembali sampai warna biru tepat hilang. Titran ditambahkan satu tetes bila saat titik akhir tercapai, dan titrasi dilakukan duplo. Volume titrasi yang dipergunakan dicatat dan dimasukkan ke dalam rumus perhitungan :
Kadar O2 terlarut =
Keterangan:
p = jumlah mL Na2S2O3 yang terpakai
q = normalitas larutan Na2S2O3 (0,025N)                           
8 = bobot setara O2

3.2.2.3. Penentuan CO2 bebas
   Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 mL, dengan gelas ukur sebanyak 100 mL dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer. Ditambahkan ke dalam botol sebanyak 10 tetes indikator phenolpthalein (pp), kemudian dititrasi dengan larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan berwarna merah jambu dan titrasi dilakukan duplo. Volume larutan Na2CO3 yang terpakai dicatat dan dimasukkan ke dalam rumus perhitungan:
Kadar CO2 bebas =
Keterangan:
p                = jumlah mL Na2CO3 yang terpakai
q                = normalitas larutan Na2CO3
22              = bobot setara CO2
3.2.2.4.   Penentuan BOD (Biological Oxygen Demand)
Pertama–tama persiapkan sebanyak 4 buah botol BOD, dua buah botol untuk masing–masing sampel dan blanko. Untuk dua botol pertama langsung diukur kandungan O2 terlarutnya sebagai t=0, sedangkan untuk dua botol kedua diinkubasi selama 5 hari dalam suhu 20 oC. Setelah hari ke-5 baru diukur kandungan O2 terlarutnya sebagai t=5. Agar hasil lebih teliti, maka kandungan O2 terlarut yang masih tersisa dalam botol sampel tersebut antara 40-70% dari kandungan O2 nol harinya. Rumus perhitungannya adalah:
BOD5 =  
Keterangan:
A0 : oksigen terlarut sampel pada nol hari.
A5 : oksigen terlarut sampel pada lima hari.
S0   : oksigen terlarut blanko pada nol hari.
S5    : oksigen terlarut blanko lima hari.
T   :  persen perbandingan antara A0:S0.
P   :  derajat pengenceran.
3.2.2.5  Penentuan COD (Chemical Oxygen Demand)
       Untuk pengujian pertama–tama sampel air diambil dengan botol sampel, dan bila perlu lakukan pengenceran (tingkat pengenceran tergantung pada kondisi sampel air yang akan diteliti). Kemudian sampel air ditempatkan ke dalam labu erlenmeyer sebanyak 100 ml dan ke dalamnya ditambahkan  sebanyak 5 mL larutan H2SO4 4N dan 10 mL larutan KMnO4 0,01N. Setelah itu, dididihkan selama 10 menit, setelah dingin ditambahkan larutan asam oksalat 0,01N sebanyak 10 mL. Selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01N sampai terbentuk larutan yang berwarna merah muda (rose). Untuk blanko diperlakukan sama dengan sampel air. Rumus perhitungannya adalah :
Kadar COD =
Keterangan :
a            =  mL KMnO4 yang terpakai
         F            =  faktor koreksi KMnO4
31,6       =  berat eqivalen KMnO4
  Untuk faktor koreksi pertama–tama akuades diambil sebanyak 100 mL dan ditempatkan ke dalam labu erlenmeyer, kemudian tambahkan sebanyak 5 mL larutan H2SO4 4N dan 10 mL larutan asam oksalat 0,01N. Lalu dihomogenkan hingga merata dan didiamkan selama 10 menit, selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01N sampai terbentuk larutan yang berwarna merah muda (ros).
Rumus perhitungan :         
3.2.3.      Sifat Biologi
         Pengambilan sampel makrobenthos dilakukan dengan menggunakan metode hand sorting dengan luasan transek 1x1 m. Substrat yang berada dalam kotakan transek diambil menggunakan tangan dan dimasukan kedalam kantong plastik yang telah disediakan. Kemudian sampel yang telah diperoleh tersebut kemudian ditaruh dalam botol sampel dan diberi larutan formalin 4% secukupnya. Selanjutnya sampel tersebut diidentifikasi dengan buku panduan identifikasi dan dihitung jumlahnya untuk menentukan nilai kepadatan dan keragaman makrobenthos.

















IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.      Hasil
Tabel 3. Data Pengamatan Kualitas Air Sungai Banjaran
No
Parameter
Nilai Kualitas Air
Batas
Hulu
Hilir

Fisik



1.
Kecepatan Arus (m/s)
0,928
0,255
0,2-0,5 (Welch, 1952)
2.
Debit air (m3/s)
8,2592
3,74241

3.
Tipe Substrat
Bebatuan
Batu berkerikil

4.
Temperatur (oC)
26
26,33
20- 30 (Hauer, 1966)
5.
TSS (mg/L)
40
98
<400 (PP. No. 82, 2001)
6.
TDS (mg/L)
22
26380

7.
Warna




·         Tampak
Hijau bening
Cokelat (substrat)


·         Sebenarnya
Bening
Jernih

8.
Bau
Tidak berbau
Busuk


Kimia



1.
pH (mg/L)
5
6
6,5 -9,0 (Kordi,2005)
2.
DO (mg/L)
8,4
11
>8 (Barus, 2002)
3.
CO2 bebas (mg/L)
0,88
8,58
<5 (Kordi, 2005)
4.
BOD (mg/L)
5,76
20,04
0 – 10 (Salmin, 2005)
5.
COD (mg/L)
2,3837
4,596
25–50  (Isyuniarto, 2007)

Biologi



1.
Keragaman Makrobenthos
13,588
0,971

2.
Kepadatan Makrobenthos (/m2)





Limnea sp. : 36
Hirudinea : 4



Potamopyrgus sp. : 16
Mayfly sp. : 4



Bithynia sp. : 9
Acroneuria sp. : 1



Plecoptera : 1
Lymnea : 63



Gilia sp. : 1
Ephemeroptera : 3



Samatogyrus sp. : 1
Goniobasis sp. : 13



Goniobasis sp. : 2




Tarebia sp. : 1




Planaria sp. : 1




4.2.      Pembahasan
4.2.1.   Sifat Fisik
4.2.1.1.Kecepatan Arus
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kecepatan arus air Sungai Banjaran semakin ke hilir semakin turun atau semakin lambat. Hal ini dapat dilihat dari data pengamatan yang menyebutkan bahwa di daerah hulu kecepatan mencapai 0,928 m/s, sedangkan pada derah hilir kecepatan arus menurun secara drastis hingga 0,255 m/s. Aliran sungai dipengaruhi oleh adanya dua kekuatan yaitu gravitasi dan hambatan (friksi). Oleh karena itu, kekuatan arus di sungai tergantung pada letak daerahnya. Pada daerah hulu, kecepatan arusnya tinggi, sedangkan di daerah hilir kecepatan arusnya menurun (Sri Rejeki, 2001).





Gambar 1. Grafik Perbandingan Kecepatan Arus Hulu dan Hilir Sungai Banjaran Dengan Pustaka.

Gambar 1 menunjukkan bahwa kecepatan arus pada daerah hulu lebih cepat dibandingkan dengan  daerah hilir.  Hal ini terjadi karena daerah hulu terletak pada daerah dataran tinggi, sehingga arusnya pun cenderung lebih cepat dibandingkan dengan daerah hilir sungai yang terletak pada daerah dataran rendah.
Kecepatan arus air yang mendukung untuk kehidupan organisme akuatik berkisar antara 0,2-0,5 m/s (Welch, 1952). Berdasarkan kriteria tersebut dapat dikatakan bahwa pada daerah hilir dapat digunakan untuk kehidupan organisme perairan sedangkan pada daerah hulu kecepatan arus terlalu besar.
4.2.1.2.Debit Air
            Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa nilai debit air pada daerah hulu adalah sebesar 8,2592 m3/s, sedangkan pada daerah hilir diperoleh nilai sebesar 3,74241 m3/s. Selain curah hujan debit air juga dipengaruhi oleh aliran air yang masuk dalam sungai yang membawa bahan terlarut akibat erosi pada suatu badan perairan. Kecepatan arus juga dapat mempengaruhi debit air.


                   
           

Gambar 2. Diagram Perbandingan Debit Pada Bagian Hulu dan Hilir
Sungai Banjaran.
              Berdasarkan gambar 2 diatas debit air di bagian hulu tinggi tetapi semakin ke hilir debit air semakin rendah. Hal ini disebabkan di sepanjang aliran hulu sungai, air sungai mengalir ke sungai-sungai kecil  yang melewati pemukiman penduduk dan daerah irigasi yang digunakan oleh penduduk untuk kepentingan pertanian maupun perikanan itu yang mengakibatkan air yang mengalir ke daerah hilir semakin berkurang  (Fardiaz, 1992).
               Pada musim hujan volume air relatif lebih besar dibanding dimusim kemarau. Sedangkan pada musim kemarau panas matahari menyebabkan terjadinya penguapan sehingga debit air berkurang di musim kemarau. Selain itu penggunaan air oleh masyarakat juga berpengaruh terhadap berkurangnya debit air terutama d daerah hilir (Barus, 2001).
4.2.1.3.   Tipe Substrat
               Pengamatan yang dilakukan di Sungai Banjaran bagian hulu memperoleh hasil bahwa tipe substrat dasarnya keras, yakni bebatuan. Dimana bebatuan ini memiliki diameter sebesar lebih dari 256 mm. Sedangkan pada daerah hilir tipe substrat dasarnya lunak dengan diameter 64-256 mm, yaitu batu berkerikil (Sudaryanti,1997). Substrat termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan organisme. Pada daerah hulu Sungai Banjaran ditemukan lebih banyak organisme dibandingkan di daerah hilir. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Odum (1993) bahwa substrat pasir atau liat biasanya merupakan tipe dasar yang tidak sesuai dan tidak mendukung kelimpahan dan keanekaragaman individu bentos. Sedangkan substrat batu yang datar/pipih biasanya menghasilkan variasi organisme benthos yang besar dan paling padat.
               Tipe substrat dasar suatu perairan dipengaruhi oleh letak geografik dan dari partikel organik dan anorganik yang dapat tersebar oleh arus. Partikel-partikel dapat berpindah tempat atau terikat kuat di dasar, akibatnya penyebaran sedimen terjadi pada daerah yang mengalir. Pada perairan yang menggenang (lentic) bersifat lunak seperti berpasir dan berlumpur, sedangkan perairan yang mengalir (lotic) bersifat keras seperti berbatu. Tipe substrat suatu perairan akan mempengaruhi keragaman komposisi hewan benthos (Ian et al, 1978).
4.2.1.4.   Suhu
               Berdasarkan gambar 3 pada daerah hulu diperoleh suhu sebesar 26 oC. Sedangkan pada derah hilir suhu meningkat sedikit yakni menjadi 26,33 oC.  Melalui data yang diperoleh diatas menunjukkan bahwa perairan di Sungai Banjaran layak dihuni oleh organism, karena menurut  Hauer (1966) dalam Iskandar (2002), bahwa suhu yang layak untuk kehidupan suatu organisme air tawar berkisar antara 20ºC - 30 ºC dengan suhu optimum berkisar antara 25 ºC - 28 ºC.







Gambar 3. Diagram Perbandingan Suhu Hulu dan Hilir Sungai Banjaran dengan Pustaka.


4.2.1.5.   TSS (Total Suspended Solid)
Total Suspended Solid (TSS) adalah padatan tersuspensi yang banyak dijumpai di perairan yang terdiri dari bahan padat organik dan anorganik. Partikel-partikel tersebut berasal dari dasar sungai, erosi lahan pertanian, buangan rumah tangga dan industri (Fardiaz, 1992).


              



Gambar 4. Diagram Perbandingan TSS Hulu dan Hilir Sungai Buyur dengan Pustaka.

               Berdasarkan gambar 4 terlihat bahwa nilai Total Suspended Solid (TSS) air Sungai Banjaran pada daerah hulu yaitu 40 mg/L, sedangkan nilai TSS pada daerah hilir yaitu 98 mg/L. Nilai TSS pada daerah hulu lebih rendah daripada daerah hilir karena pada daerah hilir banyak mengandung bahan-bahan organik dan anorganik.
Konsentrasi TSS yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi pada organisme akuatik, misalnya pada sistem pernafasan dan penglihatan organisme tersebut. Nilai TSS yang masih mendukung untuk kehidupan organisme akuatik menurut PP. No. 82 (2001), yaitu <400 mg/L, sehingga daerah hulu dan hilir  masih berpotensi untuk kehidupan organisme, karena TSS nya kurang dari 400 mg/L.
4.2.1.6    TDS (Total Dissolved Solid)
               Padatan terlarut adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih kecil dari pada padatan tersuspensi. Padatan terlarut terdiri dari senyawa-senyawa organik  dan anorganik yang larut air, mineral dan garam-garamnya (Fardiaz, 1992).






Gambar 5. Diagram Perbandingan TDS Pada Hulu dan Hilir Sungai Buyur   dengan Pustaka

               Pada daerah hulu Sungai Banjaran diperoleh TDS sebesar 22 mg/L sedangkan pada daerah hilir TDS mencapai 26380 mg/L. Total Dissolved Solid (TDS) di daerah hilir lebih besar daripada daerah hulu, hal ini menunjukkan bahwa padatan terlarut di daerah hilir lebih tinggi karena pada daerah hilir banyak terdapat senyawa-senyawa organik maupun anorganik yang terlarut di dalam air.
4.2.1.7    Warna
               Pengamatan yang dilakukan di Sungai Banjaran menggunakan metode visual sehingga diperoleh warna tampak dan warna sebenarnya. Warna tampak  (apparent color) adalah warna yang disebabkan oleh zat-zat terlarut dan zat-zat tersuspensi yang terdapat dalam air sedangkan warna sebenarnya (true color) disebabkan oleh bahan-bahan terlarut yang terdapat dalam air. Pada daerah hulu sungai diperoleh warna tampak hijau bening dan warna sebenarnya bening. Sedangkan di daerah hilir warnanya tampaknya cokelat dan warna sebenarnya jernih. Hal ini disebabkan karena daerah hulu masih jauh dari rumah penduduk jadi bebas dari limbah, sedangkan daerah hilir sebagian sudah tercemar limbah.
               Warna air disebabkan oleh pengaruh timbal balik antara berbagai zat terlarut dalam air dengan intensitas cahaya matahari. Warna cokelat pada air sungai memberi indikasi adanya kekeruhan akibat sedimen di dalam air. Air yang jernih dan bening umumnya adalah air yang tidak mengalami pencemaran (Barus, 2001).
4.2.1.8    Bau
               Pengamatan bau di Sungai Banjaran menggunakan alat indra penciuman. Pada daerah hulu air sungai tidak berbau. Sedangkan pada daerah hilir air sungai berbau busuk. Hal ini disebabkan karena daerah hilir sudah tercemar oleh aktivitas mikroorganisme yang berlangsung secara anaerob sehingga menghasilkan amoniak yang baunya sangat tajam. Selain itu, daerah hilir banyak terdapat area pertanian, rumah tangga, dan industri sehingga air tercemar oleh limbah dari area tersebut.
4.2.2. Sifat kimia
4.2.2.1. Potensi Hidrogen (pH)
            Derajat keasaman atau pH air menunujukan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (dalam mol per liter) pada suhu tertentu. Air murni (H2O) berasosiasi sempurna sehingga memiliki ion H+ dan ion H- dalam konsentrasi yang sama, dan dalam keadaan demikian pH air murni = 7 (Kordi, 2005). Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu antara pH 6- 7,5 ( Siradz, 2008).
Hasil pengukuran pH pada daerah hulu dan hilir  sungai Banjaran disajikan pada Gambar 6. Daerah hulu memiliki nilai pH 5 dan derah hilir bernilai 6. Hal ini menunjukkan bahwa sungai Banjaran bersifat asam meski terjadi perbedaan nilai di bagian hulu dan hilir. Angka pH lebih kecil dari 7 menunjukkan bahwa air di tempat tersebut bersifat asam (Asdak, 1995).
Gambar 6. Diagram Perbandingan  pH pada Hulu dan Hilir Sungai Banjaran dengan Pustaka.
Nilai pH daerah hulu lebih kecil dari daerah hilir yang artinya air daerah hulu lebih asam dibanding hilir. Hal ini disebabkan terjadi hujan sebelum pengambilan sampel di daerah hulu. Air hujan bersifat asam sehingga dapat mempengaruhi air netral menjadi asam. Air hujan memiliki nilai pH 5,6  dan dianggap sebagai hujan asam jika pada air hujan bernilai pH lebih kecil dari 5,6 (Hewlett, 1982 dalam Asdak, 1995). Nilai pH yang rendah di sungai Banjaran hulu dan hilir ini berkaitan dengan waktu pengambilan sampel yaitu pagi hari, disebabkan: (i) Pada aliran air (sungai) alamiah, pembentukan pH dalam  aliran air tersebut sangat ditentukan oleh reaksi karbondioksida (Asdak, 1995).  (ii) pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi karbon dioksida (CO2) dan senyawa bersifat asam. Fitoplankton dan tanaman air lainnya akan mengambil CO2 dari air selama proses fotosintesis sehingga mengakibatkan pH air meningkat pada siang hari dan menurun pada waktu malam hari. Air dengan total alkalinitas yang rendah biasanya mempunyai nilai pH sekitar 6 – 7,5 pada waktu pagi hari, tetapi bila plankton berkembang menjadi banyak maka pH air akan meningkat sampai 10 atau lebih pada waktu sore hari.  Fluktuasi pH pada air yang total alkalinitasnya lebih tinggi biasanya sekitar 7,5 atau 8 pada siang hari dan sekitar 9 atau 10 pada sore hari (Alvy, 2009).
 Fluktuasi nilai pH pada air sungai dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain: (i) Bahan organik atau limbah organik. Meningkatnya kemasaman dipengaruhi oleh bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian, (ii) Bahan anorganik atau limbah anorganik. Air limbah industri bahan anorganik umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga kemasamannya juga tinggi, (iii) Basa dan garam basa dalam air seperti NaOH2 dan Ca(OH) 2 dan sebagainya. (iv) Hujan asam akibat emisi gas. pH air hujan ini dapat mencapai 2 atau 3 berada jauh dibawah pH air hujan normal yaitu sekitar pH 5,6 (Siradz, 2008).
            Perairan dengan tingkat pH lebih kecil daripada 4,8 dan lebih besar dari 9,2 sudah dapat dianggap tercemar (Brook et al., 1989 dalam Asdak, 1995). Sungai Banjaran memiliki nilai pH 5 dan 6 sehingga dapat dikatakan air sungai Banjaran belum tercemar. Standar baku mutu kualitas air berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 untuk parameter pH yaitu sekitar 6–9 (Siradz, 2008). Sungai Banjaran memiliki nilai pH 5-6 yang artinya berada sedikit di bawah batas ambang yang dikehendaki. Sehingga kualitas air sungai Banjaran sedikit kurang baik.
            pH air memiliki peran penting bagi kehidupan ikan dan fauna lain yang hidup di perairan tersebut. Apabila nilai pH telah turun jauh di bawah angka 6,0 ikan dan organisme akuatik lainnya menjadi terganggu kehidupannya. Pada angka pH lebih kecil dari 4,5 keadaan kualitas air telah menjadi kritis dan tidak mampu lagi mendukung kehidupan ikan (Asdak, 1995).
            pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Pada pH rendah kandungan oksigen terlarut akan berkurang. Usaha budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 -9,0 , dan kisaran optimal adalah pH 7,5-8,7. Pada pH air 5-6,5 , pertumbuhan ikan terhambat dan ikan sangat sensitif terhadap bakteri dan parasit (Kordi,2005). Sungai Banjaran memiliki nilai pH 5-6 sehingga tidak sesuai untuk budidaya perikanan karena pertumbuhan ikan akan lambat. Karenanya sungai Banjaran lebih banyak digunakan sebagai irigasi pertanian (Harian Kompas, 2007).
4.2.2.2. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan (Salmin, 2005).
Hasil pengukuran oksigen terlarut di Sungai Banjaran hulu adalah 8,4 mg/L dan bagian hilir 11 mg/L. Seperti terlihat dalam gambar 7. Dari nilai ini diketahui bahwa oksigen terlarut di sungai Banjaran hulu lebih rendah dibandingkan dengan bagian hilir. Kelarutan oksigen  di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor temperatur dan jumlah garam yang terlarut dalam air (Baur 1987, Brehm & Meijering 1990 dalam Barus, 2002).  Pada ekosistem air tawar, pengaruh temperatur sangat dominan. Konsentrasi akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur (Barus, 2002). Data yang diperoleh tidak sesuai dengan pustaka, pada daerah hulu dengan suhu 26° C memiliki oksigen terlarut 8,4 mg/L dan pada daerah hilir yang bersuhu 26,33° C memiliki nilai oksigen terlarut lebih tinggi yaitu 11 mg/L. Menurut Barus (2002) konsentrasi oksigen di daerah hilir lebih kecil dari daerah hulu karena daerah hilir memiliki temperatur yang sedikit lebih tinggi. Data ini dapat terjadi karena di daerah hilir telah mendapat oksigen akibat fotosintesis karena daerah hilir lebih banyak terpapar sinar matahari dibandingkan daerah hulu. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dan udara dan dari proses fotosintesis (Barus, 2002).
Gambar 7. Diagram Nilai Oksigen Terlarut pada Sungai Banjaran Daerah Hulu dan Hilir.
            Konsentrasi oksigen terlarut berubah-ubah dalam siklus harian. Pada waktu fajar, konsentrasi oksigen terlarut rendah dan semakin tinggi pada siang hari yang disebabkan oleh fotosintesis, dan mencapai titik maksimal lewat tengah hari (Kordi, 2005). 
Penurunan konsentrasi oksigen akan menurunkan kegiatan fisiologis mahluk hidup dalam air. Dalam penelitiannya, Welch (1980) menemukan terjadinya penurunan pada nafsu makan , pertumbuhan dan kecepatan berenang ikan pada saat konsentrasi oksigen kurang dari 8 ppm. Barus (2002) menyatakan, nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya tidak lebihkecil dari 8 mg/L. Sungai Banjaran memiliki oksigen terlarut 8-11,4 mg/L sehingga air sungai Banjaran dapat dijadikan tempat budidaya perairan tawar karena nilai oksigen yang dikandungnya belum mempengaruhi kegiatan fisiologis dan pertumbuhan ikan.
Selain pengukuran konsentrasi, biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak. Harga kejenuhan oksigen (%) dihitung dengan membagi nilai konsentrasi oksigen yang diukur dengan nilai konsentrasi oksigen yang sebenarnya sesuai harga temperatur  yang terdapat dalam Barus, 2002.
Tingkat kejenuhan oksigen pada daerah hulu dengan suhu 26° C menurut tabel memiliki nilai konsentrasi sebenarnya yaitu 7,99 mg/L, sedangkan pengukuran nilai oksigen terlarut sebesar 8,4 mg/L.  Hal ini menunjukan bahwa air tersebut sudah mengandung oksigen terlarut maksimum. Dalam kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa kualitas perairan tersebut cukup bersih dan terbebas dari senyawa organik karena tidak defisit oksigen yang diamati (Barus, 2002).
Oksigen terlarut berguna sebagai parameter kondisi kualitas perairan. Menurut Sutamiharjo (1978), kadar DO < 2ppm = perairan tercemar berat, kadar DO 2- 5 ppm = perairan tercemar sedang, kadar DO > 5 ppm = perairan tercemar ringan. Hasil menunujukan sungai Banjaran memiliki kadar oksigen terlarut > 5 ppm maka air sungai Banjaran dapat dikategorikan belum tercemar karena berada jauh di ambang batas tercemar ringan.
4.2.2.3. CO2 Bebas
Karbondioksida yang terdapat di perairan merupakan proses difusi CO2 dari udara dan hasil respirasi organisme akuatik. Selain itu, didasar perairan CO2 juga dihasilkan dari proses dekomposisi bahan-bahan organik. Karbondioksida bebas yang dianalisis adalah karbondioksida yang berada dalam bentuk gas yang terkandung dalam air sedangkan kandungan CO2 bebas di udara adalah sebesar 0,03 % (Khan, 2010). Hasil pengukuran terhadap karbondioksida bebas dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Diagram Perbandingan Nilai Karbondioksida Bebas Sungai Banjaran Hulu dan Hilir dengan Pustaka.
Sungai Banjaran hulu memiliki nilai karbondioksida bebas 0,88 mg/L dan bagian hilir memiliki nilai 8,58 mg/L. Nilai karbondioksida bebas pada bagian hilir jauh lebih besar dari bagian hulu. Hal ini disebabkan oleh nilai pH yang rendah sehingga karbondioksida terdapat dalam bentuk terlarut. Pada pH air yang rendah karbondioksida terdapat dalam bentuk yang terlarut, pada pH antara 7-10 semuanya membentuk ion HCO3¯, sementara pada pH sekitar 11 umumnya dijumpai ion CO3²¯ (Barus, 2002).
            Berdasarkan hasil yang didapat menunjukkan nilai CO2 bebas pada daerah hilir lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah hulu. Seperti pada pembahasan oksigen terlarut tentang adanya proses fotosintesis di daerah hilir. Melalui proses fotosintesis, karbondioksida bersama dengan air akan membentuk karbohidrat dan oksigen. Pada ekosistem air yang mengalami laju fotosintesis yang tinggi akan dibutuhkan sejumlah karbondioksida yang banyak. Hal ini akan mengakibatkan reaksi kalsium hidrogen bikarbonat berubah menjadi kalsium karbonat, air, dan karbondiosida, sehingga karbondioksida akan tersedia untuk memenuhi kebutuhan proses fotosintesis yang sedang berlangsung(Barus, 2002). Hal ini menunjukan bahwa nilai CO2 bebas di sungai Banjaran masih layak untuk kehidupan organisme.
Perairan alami umumnya memiliki nilai karbondioksida bebas sebesar 2 ppm (Kordi, 2005). Untuk perairan budidaya nilai optimum karbondioksida bebas yaitu < 5ppm (Effendi, 2003). Sungai Banjaran hulu dapat dikategorikan sebagai perairan alami. Sungai banjaran bagian hilir memiliki karbondioksida lebih besar dari 5ppm yang artinya tidak cocok untuk budidaya perikanan.  Karbondioksida dengan konsentrasi tinggi (> 10 ppm), dapat bersifat racun, karena keberadaannya dalam darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh hemogobin (Kordi,2005).






4.2.2.4. Biological Oxygen Demand (BOD)
Gambar 9. Diagram Perbandingan Nilai BOD Sungai Banjaran Hulu dan Hilir dengan Pustaka.
   Berdasarkan Gambar 9, diketahui nilai BOD sungai Banjaran hulu sebesar 5,76 mg/L dan bagian hilir sebesar 20,04 mg/L. Ini berarti mikroorganisme dalam menggunakan oksigen untuk mendegradasi bahan organik menjadi CO2 & H2O selama 5 hari sebesar 5,76 mg/L di hulu dan 20,04 mg/L dihilir. Kandungan nilai BOD Sungai Banjaran bagian hilir lebih besar dibandingkan nilai BOD di bagian hulu. Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang nantinya akan menguraikan bahan-bahan organik dalam air lebih banyak terdapat di bagian hilir. Secara umum, angka BOD yang tinggi menunjukkan konsentrasi bahan organik di dalam air juga tinggi (Asdak, 1995). Bahan-bahan organik dapat berasal dari sisa metabolisme, sisa detergen, pertanian (pupuk), limbah industri dan rumah tangga serta organisme perairan yang mati.
Perbedaan BOD ini dikarenakan pada daerah hulu sungai, arus yang terjadi lebih cepat sehingga waktu tinggal airnya sangat singkat dan tidak memberikan kesempatan organisme untuk melakukan dekomposisi yang membutuhkan oksigen, sedangkan di daerah hilir sungai waktu tinggal airnya (residence time) lebih lama sehingga kesempatan organisme air untuk mendekomposisi bahan organik sangat besar. Semakin tinggi bahan organik yang terkandung dalam badan perairan maka nilai BOD akan semakin tinggi (Isyuniarto, 2007).
Menurut Lee et a(1978)BOD < 3 termasuk perairan yang belum tercemar, kandungan BOD antara 3,0-14,9 termasuk tercemar ringan, sedangkan >15,0 termasuk tercemar berat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa BOD perairan Sungai Banjaran bagian hulu sungai masih optimum bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme air, karena hanya tercemar ringan oleh lingkungan. Namun sebaliknya, di sungai Banjaran bagian hilir sudah termasuk perairan yang tercemar berat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut, dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian itu (Barus, 2002).
Kriteria kualitas air berdasarkan kelas menurut PP No. 82 tahun 2001, kelas I nilai BOD 2 mg/L, kelas II nilai BOD  3 mg/L, kelas III nilai BOD 6 mg/L, dan kelas IV nilai BOD 12 mg/L (Rahayu, 2009). Berdasarkan kriteria kualitas air ini makan Sungai Banjaran hulu termasuk dalam kelas III sehingga masih belum tercemar dari bahan-bahan organik, berarti baik untuk kelangsungan hidup organisme yang berada pada perairan tersebut.
4.3.5.   COD
Hasil pengukuran nilai COD di sungai Banjaran hulu adalah 2,3837 mg/L dan bagian hilir 4,596 mg/L. Kriteria kualitas air berdasarkan kelas menurut PP No. 82 tahun 2001, kelas I nilai COD 10 mg/L, kelas II nilai COD  25 mg/L, kelas III nilai COD 50 mg/L, dan kelas IV nilai COD 100 mg/L (Rahayu, 2009). Berdasarkan kriteria kualitas air ini maka Sungai Banjaran hulu dan hilir berada di bawah ambang batas kelas I.
Gambar 16. Diagram Perbandingan Nilai COD Sungai Banjaran Hulu dan Hilir dengan Pustaka
Berdasarkan Gambar 16, menunjukkan bahwa nilai COD di bagian hilir lebih besar dibandingkan nilai COD di bagian hulu hal ini dapat disebabkan oleh pencemaran yang dapat berasal dari sisa-sisa buangan  rumah tangga, zat kimia yang terbawa oleh aliran air di permukaan tanah atau dari air hujan itu sendiri yang kemungkinan membawa bahan-bahan beracun dari polusi udara. Namun jika dibandingkan dengan standar baku nilai COD yang mendukung kehidupan ikan air tawar berkisar antara 25–50 mg/L (Isyuniarto, 2007). Nilai COD akan meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai bahan organik di perairan. Tingginya nilai COD juga menunjukkan tebalnya lapisan bahan organik yang ada di perairan sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar oksigen terlarut di perairan yang dibutuhkan oleh organisme untuk melakukan respirasi (Barus, 2002).
4.2.3.   Sifat Biologi Sungai
Plankton dan Bentos memegang peran penting dalam mempengaruhi produktifitas primer perairan sungai. Rosenberg (dalam Ardi, 2002) menyebutkan bahwa beberapa organisme plankton bersifat toleran dan mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan kualitas perairan. Indeks keragaman adalah sifat komunitas yang memperlihatkan jenis-jenis organisme yang ada didalamnya, kelimpahan pada umumnya sebagai jumlah individu per satuan volume per  luas (Odum, 1971).
              
Gambar 11. Diagram Kepadatan Makrobenthos pada Bagian Hulu Sungai Banjaran.
Berdasarkan gambar 17 menunjukan bahwa kepadatan makrobenthos pada daerah hulu sungai Banjaran yang tertinggi adalah Limnea sp. dengan jumlah kepadatan 36 indivdu/m2. Sedangkan yang terendah adalah Plecoptera dengan jumlah kepadatan 1 individu/m2, Gilia sp. dengan jumlah kepadatan 1 individu/m2, Samatogyrus sp. dengan jumlah kepadatan 1 individu/m2, Tarebia sp. dengan jumlah kepadatan 1 individu/m2, dan Planaria sp. dengan jumlah 1 individu/m2. Pada daerah hulu kepadatan makrobenthos lebih sedikit dari pada daerah hilir karena tidak ada tempat untuk menempel atau melekat karena kecepatan arus yang besar, menurut Odum (1971), arus merupakan faktor yang mempengaruhi kehidupan makrobhentos. Perairan yang deras memiliki tipe substrat batu berpasir yang dapat sebagai tempat makrobenthos menempel atau melekat.
  
Gambar 12. Diagram Kepadatan Makrobenthos pada Bagian Hilir Sungai Banjaran.
Berdasarkan gambar 12 menunjukan bahwa kepadatan makrobentos yang tertinggi adalah Lymnea dengan kepadatan 63 individu/m2. Sedangkan yang terendah adalah Acroneuria sp. dengan kepadatan 1 individu/m2. Pada daerah hilir kepadatan makrobenthos lebih banyak dari pada daerah hulu. Arus merupakan faktor yang mempengaruhi kehidupan makrobhentos, karena pada umumnya makrobentos mempunyai kepadatan yang tinggi pada arus yang tenang (hilir).
Pada perairan yang tenang (hilir) memiliki tipe substrat kerikil berpasir yang lebih banyak daripada di hulu. Tipe substrat kerikil berpasir cocok sebagai tempat makrobenthos menempel atau melekat.
Gambar 13. Diagram Keragaman Makrobenthos Bagian Hulu dan Hilir Sungai Banjaran.
Berdasarkan gambar 13 menunjukkan bahwa keragaman makrobenthos pada daerah hulu lebih besar dibandingkan dengan daerah hilir, hal ini disebabkan karena  pada daerah hulu arusnya lebih besar dari daerah hilir. Menurut Odum (1971), arus merupakan faktor yang mempengaruhi kehidupan makrobhentos. Karena pada umumnya makrobentos mempunyai keragaman yang tinggi pada komunitas arus deras.
               Berdasarkan hasil diatas maka dapat diketahui bahwa makrobenthos yang berada pada daerah hulu jenis spesiesnya lebih beragam tetapi jumlahnya sedikit sedangkan pada daerah hilir jenis spesiesnya tidak banyak tetapi jumlah individunya melimpah. Keragaman dan kelimpahan makrobenthos dapat dijadikan indikator biolagis dalam mempelajari ekosistem sungai. Plankton dan benthos merupakan organisme perairan yang menjadi pakan alami bagi benih ikan. Benthos dapat ditemukan dalam keadaan terapung di permukaan kolam, di dasar kolam atau melayang memenuhi air kolam.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.      Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan pada Sungai Banjaran bagian hilir dan hulu maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kondisi sifat fisik di Sungai Banjaran menunjukan adanya perbedaan sifat fisik  antara daerah hulu dan hilir :
·         Nilai kecepatan arus di hulu 0,928m/s dan di hilir 0,255 m/s. Maka kecepatan arus yang mendukung kehidupan organisme akuatik adalah di daerah hilir.
·         Debit di hulu 8,2592 m3/s dan di hilir 3,74241 m3/s.
·         Tipe substrat di hulu bebatuan dan di hilir batu  berkerikil.
·         Suhu di hulu 26 oC dan di hilir 26,33 oC. Suhu di hulu dan di hilir layak untuk kehidupan organisme air tawar.
·         TSS (Total Suspended Solid) di hulu 40 mg/L dan di hilir 98 mg/L. Nilai TSS di Sungai Banjaran mendukung untuk kehidupan organisme akuatik.
·         TDS (Total Dissolved Solid) di hulu 22 mg/L dan di hilir 26380 mg/L.
·         Warna tampak perairan di hulu hijau bening, warna sebenarnya bening dan di hilir warna tampak perairan  coklat (substrat),warna sebenarnya jernih.
·         Bau di perairan hulu tidak berbau dan perairan hilir berbau busuk.
2.      Kondisi sifat kimia di Sungai Banjaran menunjukan adanya perbedaan sifat kimia antara daerah hulu dan hilir :
·         pH bernilai 5 pada daerah hulu dan 6 pada daerah hilir. Nilai pH di Sungai Banjaran kurang mendukung kehidupan organisme akuatik.
·         Oksigen terlarut pada daerah hulu 8,4 mL/L dan hilir 11  mL/L.
Nilai oksigen terlarut di sungai Banjaran mendukung kehidupan organisme akuatik.
·         Karbondioksida bebas pada hulu 0,88 mL/L dan hilir 8,58 mL/L. Nilai karbondioksida bebas di Sungai Banjaran hilir kurang mendukung kehidupan organisme akuatik, sedangkan untuk daerah hulu mendukung.
·         BOD pada hulu 5,76 mg/L dan hilir 20,04 mg/L. Nilai BOD di Sungai Banjaran hulu masih mendukung kehidupan organisme akuatik.
·         COD pada hulu  2, 3837  mg/L dan hilir  mg/L.
3.      Kondisi sifat Biologi di Sungai Banjaran menunjukan adanya perbedaan antara daerah hulu dan hilir.
·         Nilai kepadatan pada daerah hulu 8 individu/m2  dan hilir 15 individu/m2.
·         Nilai kelimpahan pada daerah hulu 13,588 individu/m2  dan hilir 0,971 individu/m2.
5.1   Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari praktikum ini, kondisi sungai Banjaran dapat dinilai cukup baik, sehingga masyarakat dihimbau untuk menjaga keadaan sungai agar menjadi semakin baik, sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal.

1 komentar:

  1. kaka, aku boleh minta daftar pustakanya ga kak? :) materi yang kakak tulis sangat membantu dalam penulisan saya untuk memenuhi tugas kuliah

    BalasHapus