I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kolam merupakan salah satu bentuk ekosistem buatan yang berfungsi untuk pemeliharaan ikan meliputi faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik dan abiotik ini dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan tersebut. Menurut Atmadja (1975), kolam merupakan perairan menggenang yang kegunaannya sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas airnya. Sehingga kualitas air yang baik akan menentukan pula kelangsungan hidup organisme-organisme didalamnya.
Kolam biasa merupakan kolam yang hanya digunakan untuk bidang perikanan khususnya budidaya ikan tanpa dipadukan dengan usaha lain. Kolam mina ayam merupakan kolam yang digunakan untuk memelihara ikan yang dipadukan dengan usaha peternakan ayam. Pemeliharaan ikan di kolam mina ayam memanfaatkan kotoran ayam dan sisa pakan ayam sebagai sumber utama pakan ikan, sehingga tidak perlu memberi pakan ikan (Marnani, 2004). Kondisi tersebut akan memberikan perbedaan terhadap kualitas air antara kolam biasa dengan kolam mina ayam yang berdampak pada jenis kualitas air.
1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Kondisi kualitas air kolam biasa dan kolam mina ayam melalui pengamatan fisik, kimia, dan biologi.
2. Kesesuaian kualitas air kolam biasa dan kolam mina ayam di Sumbang, Purwokerto dengan standar baku mutu untuk pembudidayaan ikan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kolam
Kolam merupakan jenis perairan semi tertutup yang merupakan ekosistem tertutup bagi organisme perairan. Menurut Odum (1971) kolam merupakan perairan berukuran kecil dan dangkal, mempunyai perbedaan yang jelas dengan perairan menggenang lainnya. Kolam sering digunakan oleh manusia untuk berbagai aktifitas yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan dan juga organisme yantg hidup di dalamnya.
2.1.1. Kolam Mina Ayam
Kolam mina adalah suatu sistem pemeliharaan ikan dan ayam secara terpadu dengan pembuatan kandang di atas kolam (Kusno, 2002). Kegiatan usaha budidaya terpadu ikan bersama ayam lebih dikenal sebagai usaha longyam. Kata “longyam” ini merupakan akronim dari kata balong (kolam pemeliharaan ikan) dengan ayam. Maksudnya adalah suatu sistem pemeliharaan usaha budidaya ikan dan ayam secara terpadu dengan pembuatan kandang di atas kolam. Pada usaha longyam ini, kandang pemeliharaan ayam dibangun seluruhnya di atas kolam atau sebagian kandang menjulur di atas permukaan kolam ikan. Dengan cara ini, kotoran dan sisa-sisa pakan ayam akan jatuh ke dalam kolam dan dapat langsung dimakan ikan atau menjadi pupuk kolam yang dapat menumbuhkan pakan alami ikan. Dengan demikian pemanfaatan lahan menjadi efisien dan kotoran ayam tidak akan menimbulkan bau ke lingkungan sekitarnya (Kusno, 2002).
Ikan yang biasa dipelihara dalam budidaya mina ayam adalah ikan yang menyukai habitat air tawar. Tetapi kadang-kadang ada juga ikan air tawar yang mempunyai toleransi tinggi terhadap kadar garam seperti ikan nila dan ikan lele. Kondisi air sungai pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kolam di pekarangan, sebab sebagian besar sumber air yang mengalir ke kolam juga berasal dari sungai (Abdul, 1992).
2.1.2. Kolam Biasa
Kolam merupakan suatu genangan air kecil yang digunakan untuk pemeliharaan dan pertumbuhan ikan dengan meniru keadaan lingkungan air yang asli seperti perairan bebas (Soeseno, 1974). Perlu dijaga kualitasnya agar dapat menentukan layak tidak suatu perairan sebagai ekosistem ikan dan organisme lain sebagai pakannya (Welch, 1952). Menurut Sachlan (1982), faktor fisika dan kimia yang mendukung kehidupan plankton adalah suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, pH, dan DMA.
2.2. Sifat fisik air
2.2.1. Suhu
Pada umumnya, suhu dinyatakan dengan satuan derajat Celcius (oC) atau derajat Fahrenheit (oF). Pengukuran suhu pada kolam air dalam kedalaman tertentu dapat dilakukan dengan menggunakan reversing thermometer, thermophone, atau thermister (APHA,1976). Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan bilogi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan (Effendi, 2003). Menurut Susanto (2002), suhu air kolam yang ideal untuk pemeliharaan ikan berkisar 25–30oC. Daya toleransi organisme terhadap suhu kritis dapat berbeda untuk setiap jenisnya, sehingga perubahan suhu dapat menyebabkan peruhahan komposisi komunitas (Welch, 1952).
Perubahan suhu menurut Pescod (1973) tidak boleh lebih dari 1,7 0C, sedangkan suhu optimum menurut Wardoyo (1981), berkisar antara 24-26 0C. Fitoplankton dapat tumbuh subur pada temperatur 25-30 °C terutama jika tersedia karbondioksida bebas dari nitrogen yang mencukupi (Pescod, 1973).
2.2.2. Kecerahan
Kecerahan ialah penyerapan yang dihasilkan dari kekilauan sasaran penglihatan. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi,2003).
Radiasi matahari adalah komponen dasar yang penting dalam keseluruhan dinamika ekosistem air tawar. Hampir seluruh energi yang mengatur metabolisme dari perairan lentik secara langsung berasal dari energi matahari. Bahan organik terlarut pada penyerapan energi cahaya sangat terlihat. Air di perairan lentik dengan adanya peningkatan konsentrasi dan organik terlarut, tidak hanya secara drastis mengurangi transmisi cahaya tapi juga menjelaskan absorbsi cahaya secara selektif (Wetzel, 1983). Kondisi kecerahan pada kolam yang hendak digunakan untuk pemeliharaan ikan adalah lebih besar dari 10% penetrasi cahaya sampai dasar perairan (Susanto, 2002).
2.2.3. Kedalaman
Kolam harus memiliki kedalaman yang berbeda-beda untuk dapat berfungsi dengan baik. Dasar yang dangkal di sekitar tepian dan bagian yang lebih dalam di daerah tengah merupakan kondisi yang ideal untuk kolam atau bisa juga dalam di satu sisi dan dangkal di sisi lainnya. Daerah kolam yang dangkal memberikan tempat bagi tanaman air yang menyediakan pangan bagi ikan dan rumah bagi ikan-ikan kecil dan daerah dengan suhu yang lebih hangat akan mendorong plankton dan hewan kecil (yang menjadi pakan ikan) untuk tumbuh di daerah ini, Kedalaman kolam yang optimum adalah 100-200 cm (Asmawi, 1983).
2.2.4. Warna
Warna air dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kehadiran plankton, larutan yang tersuspensi, dekomposisi bahan organik, dan bahan-bahan mineral yang terdapat di dalam air. Warna perairan yang hijau muda disebabkan karena adanya penyerapan dan penghamburan cahaya matahari oleh Chlorella dan Dunaleilla yang keduanya termasuk fitoplankton golongan Chlorophyta (alga hijau). Terkadang juga disebabkan oleh jenis Chaemotomorpha dan Enteromorpha yang bentuknya seperti benang (Gufran, 2005).
2.2.5. Bau
Persoalan bau yang disebabkan polusi kimia dapat diselesaikan dengan cara pencarian lokasi sumber bau dan menghentikan masuknya zat kimia tersebut kedalam kolam. Disamping itu terkadang zat dasar geologi tanah area kolam seperti kandungan sulfur (belerang) dan besi yang sangat tinggi dapat pula menyebabkan bau kurang sedap. Kondisi-kondisi tersebut secara umum tidak dapat diatasi dengan aplikasi filter atau saringan (Rochdianto, 1995). Effendi (2007) menyatakan bahwa kondisi perairan yang baik untuk budidaya ikan adalah tidak berwarna dan tidak berbau.
2.3. Sifat Kimia Kolam
2.3.1. Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya (Fardiaz, 2006). Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami berbeda, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitute) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2007).
Pada kolom air, setiap peningkatan kedalaman sebesar 10 m disertai dengan peningkatan tekanan sekitar 1 atmosfer (Cole, 1988 dalam Effendie, 2007). Kadar oksigen terlarut juga berubah-ubah secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) masa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2007). Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang air lainnya yang membutuhkan oksigen akan mati (Fardiaz, 2006). Sedangkan Soeseno (1974) menyebutkan bahwa perairan yang mengandung oksigen terlarut 5 ppm pada suhu 20-300C cukup baik utuk kehidupan ikan dan akan mencapai kejenuhan apabila kandungan oksigen sudah mencapai 7-9 ppm.
Kandungan O2 terlarut pada perairan mengalami fluktuasi baik harian maupun musiman. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh perubahan suhu dan aktifitas fotosintesis dari tumbuhan air. O2 terlarut di dalam air mengalami fluktuasi sepanjang hari, yaitu kandungannya rendah pada waktu malam hari di mana proses respirasi terbesar terjadi dan kandungan tinggi pada waktu sore hari di mana proses fotosintesis mencapai puncaknya (Barus, 2002).
Kebutuhan oksigen ikan beragam dengan spesies dan umur ikan. Ikan air dingin membutuhkan lebih banyak oksigen terlarut daripada ikan lainnya, mungkin karena jenis ikan yang hidup di air dingin lebih aktif dibandingkan dengan ikan yang hidup diperairan yang lebih hangat. Kisaran antara 3-6 mg/liter merupakan tingkat kritis DO untuk hampir semua jenis ikan. Di bawah 3 mg/liter, penurunan lebih lanjut hanya penting dalam kaitannya dengan munculnya kondisi anaerob lokal. Kerusakan utama terhadap ikan dan kehidupan akuatik lainnya telah terjadi pada kondisi seperti ini. Di atas 6 mg/liter, keuntungan utama dari penambahan oksigen terlarut adalah sebagai cadangan atau penyangga untuk menghadapi “shock load” buangan limbah yang membutuhkan banyak oksigen (Ilyas et al, 1990).
2.3.2. Karbondioksida bebas (Co2 bebas)
Karbondioksida bebas digunakan untuk menjelaskan CO2 yang terlarut dalam air, selain yang berada dalam bentuk terikat sebagai ion bikarbonat dan ion karbonat. Karbondioksida bebas menggambarkan keberadaan gas CO2 di perairan yang membentuk kesetimbangan dengan CO2 di atmosfer (Effendi, 2007). Menurut Heru (1995), kandungan CO2 bebas dalam air untuk pemeliharaan ikan yang dibutuhkan sangat banyak, lebih banyak daripada oksigen. Kandungan CO2 maksimum dalam air masih dianggap tidak membahayakan bagi ikan adalah sekitar 25 ppm.
Namun menurut Boyd (1988) dalam Effendi (2007) kadar karbondioksida di perairan dapat mengalami pengurangan, bahkan hilang akibat proses fotosintesis, evaporasi, dan agitasi air. Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas < 5 mg/liter. Kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/liter masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, asal disertai dengan kadar oksigen yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup hingga kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/liter.
Karbondioksida bebas dalam suatu perairan berkisar < 12 ppm. Apabila CO2 bebas ini telah habis dalam perairan, maka yang digunakan oleh organisme nabati adalah CO2 terikat (Pescod,1973). Keracunan CO2 terjadi karena daya serap hemoglobin terhadap O2 terganggu (hemoglobin telah jenuh oleh CO2 yang mengakibatkan organisme mati lemas disebabkan sesak nafas). Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/L, sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/L akan menyebabkan semua organisme akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1981).
2.3.3. DMA
DMA (daya menggabung asam) adalah salah satu cara untuk menyatakan alkalinitas suatu perairan. Jumlah DMA yang terdapat dalam suatu perairan menunjukkan kapasitas penyangga atau kesuburan perairan tersebut, dan juga untuk menentukan baik buruknya perairan tersebut sebagai lingkungan hidup bagi organisme-organisme air (Soeseno, 1974). Menurut Wardoyo (1981), DMA dalam suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator subur atau tidaknya suatu perairan. DMA mempengaruhi pergoncangan pH sehingga perairan tersebut semakin mantap (Soeseno, 1970). Nilai alkalinitas suatu perairan dapat digunakan sebagai parameter perairan untuk menduga kesuburan (Wardoyo, 1981).
Nilai DMA yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menghambat pertumbuhun ikan yang dipelihara. Kandungan DMA suatu perairan mempengaruhi faktor kimia dan biologi suatu perairan (Asmawi, 1983). Faktor kimia perairannya terhadap nilai pH, semakin besar kandungan DMA maka akan semakin besar pula pHnya. Faktor biologi perairannya adalah mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan biota yang hidup dalam perairan tersebut. Besar kecilnya nilai DMA suatu perairan dapat menunjukkan kapasitas penyangga dan tingkat kesuburannya (Siregar, 2000). Soeseno (1974), mengemukakan bahwa nilai alkalinitas yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat perkembangan organisme perairan. DMA di perairan berkisar 2,0 – 5,0 ppm dan membagi perairan menjadi empat golongan sebagai berikut :
1) Perairan dengan DMA 0-0,5 terlalu asam dan tidak produktif sehingga tidak baik untuk pemeliharaan ikan.
2) Perairan dengan DMA 0,5-2,0 memiliki pH belum mantap tetapi sudah dapat dipakai untuk memelihara ikan dan produktivitasnya tergolong tinggi.
3) Perairan dengan DMA 2,0-4,0 pH sudah agak basa, sangat produktif dan baik untuk pemeliharaan ikan.
4) Perairan dengan DMA 5,0 maka tergolong terlampau basa sehingga kurang baik untuk pemeliharaan ikan.
2.4. Sifat Biologi Kolam
2.4.1. Plankton
Plankton adalah organisme baik tumbuhan maupun hewan yang umumnya berukuran relatif kecil (mikro), hidup melayang-layang di air, tidak mempunyai daya gerak/ kalaupun ada daya gerak relatif lemah sehingga distribusinya sangat dipengaruhi oleh daya gerak air, seperti arus dan lainnya (Nybakken, 1992 dalam Yazwar, 2008). Plankton terbagi dua jenis yakni plankton tumbuhan (fitoplankton) dan plankton hewan (zooplankton) (Newel & Newel 1977 dalam Yazwar, 2008).
Plankton pada ekosistem perairan mempunyai peranan penting, yaitu sebagai produsen primer dan konsumen primer. Plankton terdiri dari fitoplankton dan zooplankton, biasanya melayang-layang (bergerak pasif) mengikuti aliran air. Fitoplankton merupakan produsen primer, sedangkan zooplanton sebagai konsumen primer, yaitu pemakan fitoplankton. Zooplankton yang berada di dalam perairan banyak ditemukan pada kecepatan arus yang rendah dan kekeruhan air yang kecil (Barus, 2002).
Kehadiran plankton di suatu ekosistem perairan sangat penting, karena fungsinya sebagai produsen primer atau karena kemampuannya dalam mensintesis senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis (Heddy & Kurniati, 1996 dalam Yazwar, 2008).
2.4.2. Kelimpahan
Kesuburan suatu perairan antara lain dapat dilihat dari keberadaan organisme planktonnya, karena plankton dalam suatu perairan dapat menggambarkan tingkat produktivitas perairan tersebut (Sagala, 2009). Dalam ekosistem air hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton bersama dengan tumbuhan air disebut sebagai produktivitas primer. Fitoplankton hidup terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan fotosistesis (Barus, 2001).
Dalam pertumbuhannya fitoplankton membutuhkan nutrisi baik makro dan mikro. Elemen yang termasuk dalam makro nutrisi terdiri dari : C, H, O, N, S, P, K, Mg, Ca,Na, dan Cl, sedangkan mikro nutrisi terdiri dari Fe, Mg, Co, Zu, B, Si, Mm, dan Cu. Elemen tersebut merupakan penyusun sel plankton sama dengan sel tumbuhan (Bold & Wayne, 1985 dalam Yazwar, 2008 ).
Dari sudut ekologi, hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting artinya, yaitu subkelas kopepoda. Kopepoda adalah Crustacea holoplanktonik berukuran kecil yang mendominasi zooplankton, merupakan herbivora primer (Nybakken, 1992 dalam Siregar, 2009). Sebagian besar zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada materi organik baik berupa fitoplankton maupun detritus. Kepadatan zooplankton di suatu perairan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton. Umumnya zooplankton ditemukan pada perairan yang mempunyai kecepatan arus rendah serta kekeruhan air yang sedikit (Barus, 2004 dalam Siregar 2009).
2.4.3. Keragaman
Keragaman adalah salah satu sifat komunitas yang memperlihatkan jumlah spesies organisme yang ada di dalamnya (Odum, 1971). Keanekaragaman plankton yang tinggi mendukung tingkat tropik diatasnya, yaitu hewan karang dan ikan-ikan demersal. Kelimpahan dan distribusi zooplankton demersal dikontrol oleh planktivores, khususnya ikan (Cahoon, 1992).
Apabila indeks keragaman >2 maka perairan tersebut dikatakan tidak tercemar atau tercemar sangat ringan, bila indeks 2,0-1,6 maka perairan tersebut dikatakan tercemar ringan, apabila indeks keragaman 1,5-1,0 maka perairan tersebut dikatakan tercemar sedang, dan apabila indeks keragaman <1 maka perairan tersebut dikatakan tercemar berat (Lee et al, 1978).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi Praktikum
3.3.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah buret dan statif, labu erlenmeyer, pipet karet atau pipet seukuran, labu takar, beker glass dan gelas ukur 100 mL, objek glass, mikroskop, dan cover glass, termometer, stop watch, botol mineral, erlenmeyer, botol Winkler, dan keping sechii.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah kertas pH universal (0-14), sampel air dari kolam mina dan kolam biasa, larutan MnSO4, larutan KOH-KI, larutan Na2S2O3 0,025 N, indikator amilum 0,5%, larutan Na2CO3 0,01 N, indikator phenolpthalein 0,5, larutan asam oksalat 0,01 N, larutan H2SO4, aquades, Methil Orange, HCl, lugol, formalin, tali rafia, dan kantong plastik.
3.2. Metode Praktikum
3.2.1. Suhu
Suhu air diukur dengan menggunakan termometer Celcius. Termometer dicelupkan ke dalam perairan selama + 15 menit. Kemudian dilakukan pencatatan setelah skala menunjukkan angka yang konstan.
3.2.2. Kecerahan
Kecerahan diukur dengan menggunakan keping sechii yang diturunkan ke dalam badan perairan sampai pada kedalaman tertentu hingga keping sechii tepat hilang (X) dari pandangan, diukur pula batas tepat tampak (Y) dari keping sechii pada badan perairan tersebut. Nilai kecerahan dihitung dengan menggunakan rumus :
Penetrasi cahaya = 

Keterangan :
X = Pembacaan keping secchi tepat hilang
Y = Pembacaan keeping secchi tepat tampak
3.2.3. Kedalaman
Kedalaman diukur dengan menggunakan keping sechii yang diturunkan ke dalam badan perairan sampai pada dasar perairan, lalu dia amati dan dicatat kedalaman airnya.
3.2.4. Warna
Pengamatan warna perairan di lakukan secara visual menggunakan indera penglihatan untuk mengetahui warna dari suatu perairan.
3.2.5. Bau
Pengamatan bau perairan dilakukan secara visual menggunakan indera penciuman untuk mengetahui bau dari suatu perairan.
3.2.6. Oksigen Terlarut
Kandungan oksigen terlarut diukur menggunakan metode Winkler (APHA, 1985). Air sampel diambil dengan botol winkler secara hati-hati agar tidak ada gelembung udara yang masuk. Sampel tersebut ditambahkan 1 ml larutan MnSO4 dan 1 ml KOH-KI ke dalam botol winkler yang berisi 250 ml air sampel dengan bantuan pipet seukuran, kemudian botol ditutup dan dihomogenkan dengan cara dibolak-balik sebanyak 15 kali kemudian didiamkan ± 2 menit sampai terbentuk endapan berwarna coklat atau sekurang-kurangnya supernatan menjadi nampak jernih, kemudian menambahkan H2SO4 pekat sebanyak 1 ml dengan bantuan pipet mohr kemudian tutup rapat dan dikocok sampai semua endapan terlarut dan berwarna coklat kekuningan. Sampel air diambil 100 ml menggunakan gelas ukur kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0,025 N sampai larutan menjadi coklat sampai kuning muda. Kemudian tambahkan indikator amilum sebanyak 10 tetes lalu titrasi lanjutkan kembali sampai warna biru tepat hilang. Volume titrasi dicatat.
Rumus perhitungannya adalah :
Kadar O2 terlarut = 

keterangan :
p : jumlah ml Na2S2O3 yang terpakai
q : normalitas larutan Na2S2O3 (0,025 N)
8 : bobot setara O2
1000 : volume air dalam 1 liter air
100 : volume air sampel (ml)
3.2.7. Karbondioksida Bebas
Karbondioksida bebas diukur menggunakan metode Winkler (APHA, 1985). Air sampel dari kolam diambil dengan botol winkler kemudian dengan gelas ukur air sampel diambil sebanyak 100 ml, lalu ditambahkan indikator phenolpthalein sebanyak 10 tetes kemudian dititrasi dengan Na2CO3 0,01 N sampai larutan menjadi berwarna merah jambu dan titrasi dilakukan duplo.
Rumus perhitungannya adalah :
Kadar CO2 bebas = 

keterangan :
p : jumlah ml Na2CO3 0,01 N yang terpakai
q : normalitas larutan Na2CO3 (0,01 N)
22 : bobot setara CO2
1000 : volume air dalam 1 liter air
100 : volume air sampel (ml)
3.2.8. Penentuan DMA
Sampel air diambil dengan botol sampel 250 ml, dengan gelas ukur ambil 100 ml dan dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer. Kemudian ditambahkan tiga tetes indikator methyl orange. Setelah itu dititrasi dengan larutan HCL 0,1 N sampai berrwarna merah bata dan titrasi dilakukan duplo.
Rumus perhitungannya adalah :
Kadar DMA = 

keterangan :
p : jumlah ml larutan HCL yang terpakai
q : normalitas larutan HCL
1000 : volume air dalam 1 liter air
100 : volume air sampel (ml)
3.2.9. pH
Kertas lakmus dicelupkan ke dalam kolam dan disamakan dengan pH meter untuk mengetahui pH perairan tersebut.
3.3. Waktu dan Tempat Praktikum
Waktu pelaksanaan pada hari rabu 9 April 2011 pada pukul 08.00 sampai dengan selesai. Lokasi praktikum kolam Mina ayam yaitu di Desa Kebumen Kec. Baturaden dan kolam pemeliharaan ikan JPK. Pengamatan sampel dilakukan di Laboratorium Akuatik Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman.
3.4. Analisis Data
Data pengukuran parameter sifat kimia air yang diperoleh dapat dianalisis secara deskriptif dengan histogram atau diagram balok antara titik sampling, dan dengan bantuan tabel.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel 4. Hasil Pengamatan Kualitas Air Kolam
No | Parameter | Nilai Kualitas Air | Batas max/min | |
Kolam Biasa | Kolam Mina | |||
| Fisik | | | |
1. | Temperatur (°C) | 28,67 | 25,67 | 25-30 °C |
2. | Kecerahan (cm) | 57,33 | 35 | ≥ 5 cm |
3. | Kedalaman (cm) | 63,33 | 41,67 | 60 cm-150 cm |
4. | Warna : a. Sebenarnya | Jernih | Keruh bening | |
| b. Tampak | | Keruh | |
5. | Bau | Tidak berbau | Berbau tai ayam | |
| Kimia | | | |
1. | DO ( ppm) | 5,2 | 0,8 | >6.5 ppm |
2. | DMA (ppm) | 1,5 | 1,8 | 2,0-2,5 ppm |
3. | CO2 Bebas (mg/L) | 4,62 | 5,06 | < 5 mg/L |
| Biologi | | | |
1. | Kelimpahan Plankton | | | |
| | Synedra sp. : 89 | Navicula sp. : 107 | |
| | Oscillatoria sp. : 24 | Nitzechia sp. : 68 | |
| | Nitzschia sp. : 105 | Francela sp. : 10 | |
| | Rhizoclonium : 16 | Melosira sp. : 10 | |
| | Anacystis : 24 | Ampipleura sp. : 10 | |
| | Microspora : 16 | Treubaria sp. : 10 | |
| | Fragilaria sp. : 89 | Crustacea : 19 | |
| | Rhincalamus sp. : 8 | Straurastrum sp. : 10 | |
| | Anabaena : 24 | Cladopyxis sp. : 10 | |
| | Asterichella : 8 | Euchlanis sp. : 10 | |
| | Tetraspora : 8 | Polycystis sp. : 19 | |
| | Gomphonema : 8 | Frustulis : 10 | |
| | Mesocyclope : 8 | Sthizomeris sp. : 10 | |
| | Tebellaria sp. : 8 | Gyrosigma sp. : 10 | |
| | Ulothrix : 16 | Oedogonium sp. : 19 | |
| | Diaphanosoma sp. : 24 | Anabaena : 29 | |
| | Oedogonium sp. : 8 | Synedra : 19 | |
| | Surirella : 8 | Surirella sp. : 29 | |
| | | Diatoma : 10 | |
| | | Coelosphaerium : 10 | |
2. | Keragaman | 2,411 | 2,6026 | |
4.2. Pembahasan
4.2.1. Sifat Fisik Air
4.2.1.1. Suhu

Gambar 14. Grafik Perbandingan Suhu Kolam Mina Ayam dan Kolam JPK dengan Pustaka
Berdasarkan gambar 14, menunjukkan bahwa suhu pada kolam mina ayam lebih kecil daripada suhu kolam biasa. Hal ini disebabkan karena pada kolam mina ayam tidak terkena sinar matahari secara menyeluruh akibat tertutup kandang ayam yang berada diatasnya, sedangkan kolam biasa dengan tempat yang terbuka dapat secara menyeluruh dapat terkena sinar matahari. Perubahan suhu akan mempengaruhi distribusi, metabolisme, nafsu makan, reproduksi organisme perairan serta berpengaruh langsung terhadap proses fotosintesis fitoplankton dan tanaman air (Zakiyah, 1991).
Menurut Rochdianto (1981) menyatakan, bahwa suhu optimum untuk suatu organisme dapat hidup di kolam adalah 25-30°C. Pada kolam mina ayam dan kolam JPK menunjukkan suhu 25,26°C dan 28,67°C dengan demikian kolam mina ayam dan kolam JPK masih optimum untuk pertumbuhan organisme akuatik.
4.2.1.2. Kecerahan

Gambar 15. Grafik Perbandingan Kecerahan Kolam Mina Ayam
dan Kolam Biasa Dengan Pustaka
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa kecerahan pada kolam mina ayam adalah 35 cm, sedangkan pada kolam biasa adalah 57,33 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa kolam mina ayam lebih keruh daripada kolam biasa, faktor yang mempengaruhi kecerahan pada kolam antara lain kondisi kolam, suspensi bahan organik, dan intensitas cahaya matahari. Menurut Wardoyo (1982), kondisi perairan berdasarkan nilai transparasi (penetrasi cahaya) yaitu perairan keruh (0,25-1,0 m), perairan sedikit keruh (1,0-5,0 m), dan perairan jernih (> 5 m).
Rendahnya kecerahan pada kolam mina ayam, disebabkan oleh menumpuknya bahan organik yang berasal dari kotoran ayam yang tersuspensi di dalam kolam tersebut sehingga, menyebabkan sinar matahari sulit menembus ke lapisan air yang lebih dalam pada kolam mina ayam. Kondisi kolam mina ayam yang terhalang oleh kandang ayam menyebabkan sinar matahari yang masuk terhalang, sehingga nilai kecerahan akan rendah. Nilai kecerahan kolam mina ayam menurut Gufran (2005) tidak termasuk dalam standar baku untuk budidaya perikanan.
4.2.1.3. Kedalaman

Gambar 16. Grafik Perbandingan Kedalaman Kolam Mina Ayam dan Kolam Biasa Dengan Pustaka
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa kedalaman kolam mina adalah 41,67 cm dan kolam biasa adalah 63,33 cm. Standar baku nilai kedalaman untuk budidaya perikanan adalah menurut Gufran (2005) adalah 60 cm-150 cm. Kolam biasa termasuk ke dalam kriteria standar baku, sedangkan kolam mina ayam belum memenuhi standar baku. Kedalaman berhubungan erat dengan penetrasi cahaya (kecerahan). Semakin dalam suatu perairan maka semakin rendah kecerahan dan oksigennya, sehingga proses fotosintesis dan respirasi bagi organisme akuatik didalamnya pun terhambat kecuali bagi organisme yang dapat menyesuaikan terhadap lingkungannya. kolam mina ayam memiliki kedalaman yang lebih rendah daripada kolam biasa. Hal demikian mengakibatkan tidak mengganggu kehidupan ikan walaupun jauh dari batas normal, karena pada bagian permukaannya tertutup oleh kandang sehingga sinar matahari juga tidak langsung masuk ke dalam kolam tersebut. Lain halnya dengan kolam biasa yang bagian permukaannya tidak tertutup, sehingga sinar matahari dapat langsung masuk ke perairan. Dengan demikian, kolam mina ayam dan kolam biasa dapat digunakan untuk budidaya perikanan.
4.2.1.4. Warna
Warna air pada kolam mina ayam adalah keruh disebabkan oleh banyaknya bahan organik baik yang tersuspensi maupun terlarut pada air kolam seperti kotoran ayam maupun sisa dari pakan ayam itu sendiri dibandingkan pada kolam biasa yang lebih jernih karena keberadaan fitoplankton dan humus yang lebih mendominasi pada air kolam tersebut. Menurut Effendi (2007) warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan anorganik, karena keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam misalnya besi dan mangan. Warna air pada kolam mina ayam dan kolam biasa menurut Effendi (2007) tidak mendukung untuk pembudidayaan perikanan, karena tidak sesuai dengan standar baku untuk budidaya perikanan.
4.2.1.5. Bau
Berdasarkan hasil pengamatan menujukkan bahwa pada kolam mina ayam memiliki bau feses ayam dan pada kolam biasa tidak berbau. Bau feses ayam pada kolam mina ayam disebabkan oleh banyaknya kotoran hewan, rendahnya tingkat oksigen sehingga banyak hewan anaerob yang hidup dan kondisi geologinya. Sedangkan bau amis pada kolam biasa disebabkan oleh urin yang dikeluarkan oleh ikan. Cahaya matahari yang langsung masuk ke dalam kolam juga menyebabkan hewan anaerob penyebab bau yang ada tidak cepat berkembang biak. Selain itu, sinar matahari yang masuk ke dalam kolam biasa lebih banyak dibandingkan dengan kolam mina ayam, sehingga pertumbuhan hewan anaerob terhambat yang menyebabkan bau yang tidak busuk. Bau yang tidak normal pada air dianggap mempunyai rasa yang tidak normal (Wardhana, 2004).
4.2.2. Sifat kimia
4.2.2.1. Oksigen terlarut ( DO )

Gambar 17. Nilai Oksigen Terlarut (DO) pada Kolam Mina Ayam dan Kolam Biasa
Berdasarkan gambar 17, pengukuran kandungan oksigen terlarut di kolam mina ayam adalah 0,8 ppm dan pada kolam biasa 5,2 ppm. O2 terlarut di kolam biasa lebih tinggi dibandingkan dengan kolam mina ayam dapat dikarenakan oleh adanya jumlah plankton yang menghasilkan oksigen lebih banyak maka dari itu dengan jumlah plankton yang banyak, pemanfaatan O2 yang ada didalam kolam lebih banyak. Selain itu dapat juga disebabkan oleh adanya mikroorganisme aerobik yang memanfaatkan O2 lebih banyak (Fardiaz, 1992).
Perairan yang tidak mengandung senyawa beracun dan mempunyai oksigen terlarut minimum 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik secara normal dan apabila kandungan O2 terlarut memiliki nilai >6.5 ppm dalam kolam, maka kolam tersebut sangat baik untuk kelangsungan hidup biota didalam kolam tersebut (Wardoyo 1982).
Perairan yang tidak mengandung senyawa beracun dan mempunyai oksigen terlarut minimum 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik secara normal dan apabila kandungan O2 terlarut memiliki nilai >6.5 ppm dalam kolam, maka kolam tersebut sangat baik untuk kelangsungan hidup biota didalam kolam tersebut (Wardoyo 1982), maka nilai oksigen terlarut pada mina ayam yaitu 0,8 tidak baik untuk kehidipan biota air terutama ikan,untuk kolam biasa bernilai 5,2 yang berarti baik untuk kehidupan biota air terutama ikan.
4.2.2.7. CO2 bebas

Gambar 18. Nilai Karbondioksida Bebas pada Kolam Mina Ayam dan Kolam Biasa
Berdasarkan gambar 18, nilai CO2 bebas kolam mina ayam adalah 5,06 ppm dan kolam biasa 4,62 ppm. CO2 pada kolam mina ayam lebih tinggi dapat dikarenakan oleh kolam mina ayam memiliki perairan yang lebih banyak bahan-bahan organik yang terendap di dalam kolam mina ayam, dan kekeruhan yang tinggi dibandingkan dengan kolam biasa. Tingginya kandungan CO2 pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan. Namun menurut Boyd ( 1988) dalam Effendi, 2007 kadar karbondioksida di perairan dapat mengalami pengurangan, bahkan hilang akibat proses fotosintesis, evaporasi, dan agitasi air. Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas < 5 mg/liter. Kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/liter masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, asal disertai dengan kadar oksigen yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup hingga kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/liter. Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas < 5 mg/liter, maka dapat disimpulkan bahwa kedua perairan tersebut baik untuk budidaya ikan namun lebih baik adalah kolam biasa (Effendi, 2007).
4.2.2.8. DMA

Gambar 19. Nilai DMA pada Kolam Mina Ayam dan Kolam Biasa
Berdasarkan gambar 19, nilai DMA kolam mina ayam 1.8 ppm dan kolam biasa 1,5 ppm. Daya mengambang asam (DMA) yang berkisar 2- 4 ppm berarti memiliki cadangan alkalinitas yang tinggi (Suseno, 1970). DMA suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator produktifitas perairan. Nilai DMA yang rendah menggambarkan perairan tersebut kurang baik daya penyanggahnya, sebaliknya jika DMA tinggi berarti produksi hayatinya besar. Nilai DMA dapat menunjukan kualitas perairan. Apabila kandungan DMA kurang dari 0,5 ppm maka perairan tersebut tidak produktif, kandungan DMA 0,5-2,0 ppm maka perairan tersebut tingkat produktifitasnya sedang, kandungan DMA antara 2,0-2,5 ppm maka perairan memiliki tingkat produktifitasnya tinggi, dan jika kandungan DMA lebih dari 2,5 maka perairan tersebut produktifitasnya rendah (Suseno, 1970).
Kolam mina ayam dan kolam biasa memiliki produktifitas perairan yang sedang. Kandungan DMA kurang dari 0,5 ppm maka perairan tersebut tidak produktif, kandungan DMA 0,5-2,0 ppm maka perairan tersebut tingkat produktifitasnya sedang, kandungan DMA antara 2,0-2,5 ppm maka perairan memiliki tingkat produktifitasnya tinggi, dan jika kandungan DMA lebih dari 2,5 maka perairan tersebut produktifitasnya rendah (Suseno, 1970). Maka kolam yang dilakukan pengamatan dapat dijadikan tempat budidaya ikan yang baik dari kandungan DMA yang terkandung di dalam kolam.
4.2.3. Sifat Biologi Kolam
Kelimpahan plankton yang ditemukan pada kolam mina ayam adalah Navicula sp. 107 individu/L, Nitzechia sp. 68 individu/L , Surirella 29 individu/L, Anabaena 29 individu/L. Plankton yang ditemukan pada kolam biasa adalah Synedra sp. 89 individu/L , Oscillatoria sp. 24 individu/L, Nitzschia sp. 105 individu/L, Anacystis 24 individu/L, Fragilaria sp. 89 individu/L, Diaphanosoma sp. 24 individu/L.
Berdasarkan gambar 20 dan 21 perbandingan diatas menunjukkan bahwa jumlah kelimpahan plankton yang paling banyak pada kolam mina ayam adalah Navicula sp. dan pada kolam biasa adalah Nitzschia sp. Navicula sp. terdapat dalam jumlah banyak di kolam mina disebabkan tingginya kadar CO2 bebas sehingga Navicula sp. yang termasuk fitoplankton dapat hidup di dalamnya. Jumlah kelimpahan plankton lebih banyak pada kolam biasa daripada kolam mina diakibatkan karena tingkat kesuburannya tinggi (DMA) dan perubahan suhu. Selain itu, spesies tersebut paling dapat bertoleransi terhadap kondisi lingkungan pada kolam biasa.
Kelompok fitoplankton yng mendominasi perairan tawar umumnya terdiri dari diatom dan ganggang hijau serta dari kelompok ganggang biru. Jenis yang umumnya sangat banyak ditemukan pada perairan adalah dari genus Oscillatoria, Aphanizomenon, dan Anabaena (Barus, 2001).

Gambar 22. Perbandingan Keragaman Plankton pada Kolam Mina Ayam dan Kolam Biasa
Berdasarkan gambar 22, menunjukkan bahwa indeks keragaman pada kolam mina ayam lebih tinggi daripada kolam biasa. Indeks sangat mempengaruhi kehidupan organisme perairan. Keragaman plankton pada kolam mina ayam adalah 2,6026 dan kolam biasa adalah 2,411 menunjukkan tidak tercemar atau tercemar sangat ringan. Menurut Lee et al (1978), apabila indeks keragaman >2 maka perairan tersebut tidak tercemar atau sangat tercemar ringan bila indeks 2,0-1,6 maka perairan tersebut tercemar ringan. Keberadaan plankton dalam suatu perairan dipengaruhi oleh kecepatan arus, kekeruhan air, dan suhu (Barus, 2001). Dengan demikian, pada kolam mina ayam dan kolam biasa dapat digunakan sebagai budidaya ikan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, perhitungan, dan pembahasan yang dilakukan pada kolam mina ayam dan kolam biasa.
1. Hasil pengukuran sifat fisik kolam mina ayam dan kolam biasa pada masing-masing parameter secara berturut-turut adalah untuk suhu 25,67 oC dan, 28,67 oC , kecerahan 35cm dan 57,33 cm, kedalaman 41,67 cm dan 63,33 cm, warna yaitu keruh dan jernih, serta bau yaitu berbau dan tidak berbau. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kolam JPK dan mina ayam masih optimum bagi pertumbuhan organisme akuatik.
2. Hsil pengukuran parameter kimia menujukan hasil untuk kolam biasa, CO2 bebas sebesar 4,62, O2 terlarut sebesar 5,2, dan DMA sebesar 1,5 dan Untuk mina ayam, CO2 bebas sebesar 5,06, O2 terlarut sebesar 0,8 dan DMA sebesar 1,8.
3. Parameter biologi yang diperoleh pada perairan di kolam mina ayam, yaitu kelimpahan tertinggi pada spesies Navicula sp. dengan keragaman 2,6026 individu/m3, sedangkan pada kolam biasa kelimpahan tertinggi pada spesies Nitzschia sp. dengan keragaman sebesar 2,411 individu/m3. Berdasarkan perbandingan parameter yang diperoleh dengan pustaka, maka kolam biasa lebih baik digunakan untuk budidaya ikan daripada kolam biasa karena kolam biasa lebih sesuai persyaratan unutk budidaya ikan.
5.2. Saran
Pada kolam mina ayam untuk tempat budidaya ikan merupakan tempat yang bagus dengan pembuatan kandang ayam di atas kolam. Namun pada kolam tersebut mempunyai kendala yaitu kurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan kolam (tidak masuk secara langsung) sehingga menyebabkan banyak hewan anaerob yang hidup di sana. Kolam mina ayam sebaiknya tidak di buat di daerah dataran tinggi hal itu dikarenakan dapat membuat air kolam berbau sulfur. Hal itu dapat mengganggu pertumbuhan organisme akuatik. Kolam JPK sudah memenuhi standar kolam tempat hidup organisme akuatik yang baik. Kecerahan pada kolam JPK sangat tinggi. Kecerahan tersebut dapat dilihat dengan adanya cahaya matahari yang masuk hingga kedalam perairan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar